Martin Suryajaya mengatakan kemampuan kecerdasan buatan masih sangat lemah dan banyak faktor yang perlu dipikirkan kembali.
BARISAN.CO – Kita lebih sadar menempatkan hasil dari kecerdasan buatan sebagai hal yang perlu dicek ulang, karena dia sering justru ketika ditanya spesifik jawabannya ngarang sebab dia memprediksikan saja .
Demikian disampaikan Martin Suryajaya dalam gelar acara Suluk Senen Pahingan 19, Ngaji Bareng Mbah Ubed dengan tema Filsafat Artificial Intelligence (AI) di Joglo Pondok Pesantren Al-Itqon Bugen, Kota Semarang, Minggu (30/04/2023) malam.
Filsuf muda Kota Semarang ini juga menyampaikan dalam penggunaan AI secara akademis itu sah-sah saja. Hal ini untuk membantu mahasiswa mengerjakan tugas.
“Tapi mahasiswa tersebut harus cek dari hasi AI tersebut melalui research apakah itu betul. Kalau dia copy paste secara mentah-mentah ke makalah ujian itu pasti banyak yang salah, itu yang perlu dihati-hati,” imbuhnya.
Martin Suryajaya mengatakan kemampuan kecerdasan buatan masih sangat lemah dan banyak faktor yang perlu dipikirkan kembali.
Misalnya saja mesin masih belum bisa mengerjakan pekerjaan yang sederhana seperti menyetir mobil atau motor.
“Ada banyak persoalan lainnya terkait dengan kecerdasan buatan ini. Misalnya banyak ditemukan persoalan terutama di sekolah-sekolah. Ketika menjawab suatu pertanyaan atau tugas semua jawaban sudah ada di internet hanya tinggal diakses saja,” jelas penulis buku Principia Logica.
Sementara itu, Dr. Fahruddin Faiz dalam kanal YouTube Filosofi Kehidupan, Ngaji Filsafat Kerdasan buatan atau Artificial Intelligence (AI) menyampaikan Artificial Intelligence itu mudahnya didefinisikan kecerdasan buatan atau bentuknya adalah mesin-mesin mekanisme karya manusia yang cerdas.
“Karena mekanisme algoritmanya itu kategori intelegensi makanya cerdas yang dibuat untuk bertindak dan berfungsi seperti manusia,” sambungnya.
Fahruddin Faiz memberikan contoh seperti smartphone atau yang paling sederhana jam tembok, itu mesin cerdas, pas dan tidak pernah lelet kecuali baterainya habis. Jadi jam itu tahu dan bisa pas mekanismenya cerdas.
“Selain itu misalnya kalkulator, itu tidak pernah salah menghitung 5 tambah 5 ya 10 dia tidak pernah keliru kecuali kita inputnya yang keliru,” imbuhnya
Menurut Fahruddin Faiz, ini namanya mesin yang cerdas itu jenis Artificial Intelligence (AI) memang tiruannya ya kecerdasan yang kita miliki sistem di alam semesta ini yang sering saya sebut dengan istilah sunnatullah.
“Jadi mekanisme alam ini kan kalau dalam Islam disebut sunatullah, kecerdasan buatan ini yang kemudian di manifestasikan dalam bentuk karya-karya mesin-mesin dan lain sebagainya Itu memahami mekanisme sunnatullah,” terangnya.
Lebih lanjut filsuf Fahruddin Faiz, jenis kecerdasan buatan tersebut mengambil sunatullah yang semacam itu cirinya tiga melakukan replikasi, mensimulasi dan merasionalisasi. Mensimulasi itu bikin permainan mekanisme yang seperti kecerdasan kita, mensimulasi kerja pikiran kita.
Kedua, melakukan tugas-tugas dan membuat keputusan cerdas sesuai data dan instruksi yang kita berikan sesuai mekanismenya.
Ketiga, merasionalisasi jadi mengambil satu tindakan.
Saat ini banyak mesin-mesin otomatis nyala misalnya sekarang banyak yang seperti itu. Atau saat ini untuk kepenulisan AI ChatGPT ataupun kecerdasan buatan untuk mengubah teks menjadi audio maupun video.
“Fenomena sosial, budaya, alam dan lain sebagainya inilah yang membuat manusia hari ini itu mampu jaya dengan artificial intelijennya. Karena orang-orang tertentu itu mampu melihat secara dalam kemudian mengingat-ingat mekanismenya. Jadi melakukan replikasi duplikasi itulah maknanya artificial intelijen atau kecerdasan buatan,” jelas Fahruddin Faiz