Pemerintah perlu tegas dalam memberlakukan aturan agar driver ojol terlindungi.
BARISAN.CO – Kesuksesan aplikasi ojol (ojek online) tak diiringi dengan meningkatnya kesejahteraan driver. Suatu malam, seperti biasa, saya memesan ojol untuk mengantar pulang ke rumah. Namun, sebelum itu, drivernya meminta izin untuk mengantar makanan terlebih dahulu yang memang searah dengan rumah saya.
Saya tak masalah karena awalnya saya pikir makanan itu dikirim untuk keluarganya. Yang menjadi persoalan adalah ketika driver tersebut mengatakan, makanan itu dari aplikasi kedua yang dia gunakan.
“Kalau ga pakai dua aplikasi begini, ga bisa, mbak. Apalagi anak saya bentar lagi mau masuk sekolah,” suara lirih itu terdengar di tengah semilir angin yang berhembus.
Sebelum dan sesudah mengantar makanan, bahkan sampai mengantar saya selamat sampai depan rumah, driver itu meminta maaf karena tak enak hati. Sebenarnya, yang harusnya tak enak hati adalah pembuat kebijakan baik perusahaan dan pemerintah. Kenapa? Karena driver itu terpaksa harus menggunakan dua aplikasi untuk memenuhi kebutuhan hidup dasar.
Dia bercerita kalau tak menggunakan dua aplikasi, sehari dapat Rp20.000. Bisa dibayangkan betapa menyedihkannya kehidupan driver ini.
Dulu, menjadi ojol seolah pekerjaan yang menggiurkan. Menunggu, mengantar pesanan, kemudian menerima upah. Sayangnya, dari penuturan driver tersebut, tarif yang dikenakan ke saya senilai Rp15.000, driver itu hanya mendapatkan Rp10.400. Artinya, dipotong Rp4.600 atau sekitar 30 persen.
Sementara, jika mengantar makanan, dari biaya antar yang dikenakan Rp15.000, driver itu mendapatkan Rp8.800 atau sekitar 41 persen. Sedangkan untuk aplikasi satunya lagi, tarif yang dikenakan ke pelanggan Rp16.000, driver memperoleh penghasilan Rp8.500.
Maka, kemungkinan besar yang dikatakan driver ojol tersebut benar, jika hanya satu aplikasi, pendapatannya hanya Rp20.000 sehari.
Di usianya yang hampir menginjak kepala enam, dia menyebut, menjadi driver karena tak ada pilihan.
“Meski badan saya masih bugar, ga ada perusahaan yang mau nerima karena usia saya itu,” celotehnya.
Hampir semua orang menggunakan aplikasi ojol untuk memudahkan mereka dalam beraktivitas. Mulai dari mobilitas, makanan, hingga belanja bulanan pun bisa melalui aplikasi ini.
Parahnya, pemerintah belum juga berani mengambil langkah sporadis untuk melindungi pekerja gig economy. Meski telah ada Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KP 667 Tahun 2022, tak jua memberikan tindakan tegas bagi perusahaan yang tak ikuti aturan biaya bagi hasil tak lebih dari 15 persen ini.
Sebenarnya, dari biaya yang dikenakan konsumen tersebut sudah termasuk dengan biaya jasa aplikasi. Bahkan, tertulis driver akan terima tip lewat aplikasi.
Namun, belum lama ini, Elisa Sutanudjaja, Executive Director dari Rujak Center for Urban Studies menulis dalam Twitter pribadinya bahwa driver memilih menerima enggan uang parkir lewat tip di aplikasi karena uang tip tersebut akan dikirim keesokan harinya.
Tentu, persoalan ini seyogyanya harus segera diselesaikan oleh pemerintah dan perusahaan. Terlebih jumlah driver di Indonesia saat ini sudah ada jutaan orang.
Di sisi lain, ojol juga menghadapi situasi yang sangat mengkhawatirkan. Di tengah rendahnya penghasilan, mereka juga harus berhadapan dengan polusi udara, kemacetan, kecelakaan, dan kemungkinan menjadi korban kriminalitas di jalan. Sedangkan, para komisaris di perusahaan ini justru hanya duduk di ruangan ber-AC sambil menikmati jerih payah para pekerja ini.
Sampai kapan mereka harus hidup di bawah pendapatan yang tak layak seperti ini di saat jasa mereka sangatlah dibutuhkan banyak orang? (Yat)