Scroll untuk baca artikel
Khazanah

Gus Baha: Fikih itu Senam Otak

Redaksi
×

Gus Baha: Fikih itu Senam Otak

Sebarkan artikel ini

Imam Syafi’i berpikir beda, bahwa sejak dulu berhubungan suami-istri itu beda. “Misal kita bertamu, dan kita makan di depannya itu boleh. Tapi kalau kita berhubungan suami-istri di depannya, jelas ‘nemen ngawure’.” canda Gus Baha yang membahasakan cara berpikir Imam Syafi’i. Dalam mazhab Syafi’i, hubungan intim pasangan suami-istri itu beda dengan makan.

Selanjutnya muncul pertanyaan: bagaimana hukumnya kalau makan dahulu, baru berhubungan suami-istri?” sontak ger-geran hadirin, menyimak Gus Baha membolak-balikkan kerumitan dalam fikih.

Begitu pula perdebatan mazhab Hanafi dengan mazhab Syafi’i tentang kebolehan musafir membatalkan puasa. “Ada orang, jam segini (siang hari) langsung makan akan kena sanksi. Ya, sudah pergi saja dulu, pura-pura ngaji ke Gus Baha, jadi musafir kan! Sehingga boleh makan. Padahal, ia sengaja pergi itu supaya boleh makan. Lha wong nggak kepikiran ngaji kok tiba-tiba ikut ngaji. Maka, dibabkanlah apakah boleh merekayasa fikih?

Alhasil, perbedaan itu benar-benar tidak mungkin tidak. Seperti halnya khilafiyah penetapan awal ramadan antara NU dengan Muhammadiyah. “Begini, tahun 2001 itu abad berapa? Abad ke-21 atau ke-20?” tanya Gus Baha.

Abad ke-21.” jawab hadirin.

Jadi, meskipun terpaut setahun, padahal abad itu seratus tahun. Nah, pikiran orang-orang Muhammadiyah seperti itu. Hilal kalau sudah melewati garis ufuk, meskipun setengah derajat atau satu derajat, itu sudah ikut bulan berikutnya. Namun, pikiran orang NU tidak, harus ru’yah bi al-fi’li. Harus melihat langsung.

Dan, menurut mayoritas ulama, tunggu ru’yah bi al-fi’li. Mata telanjang bisa melihat, karena agama ini menggantungkan perintah bersamaan dengan melihat. Kalau tak melihat, bagaimana bisa kena hukum.” lanjut Gus Baha. “Ketika Pak Rektor ke rumah saya, tapi saya tidak tahu kedatangannya, sehingga saya tak menyambut dan tidak memberi penghormatan, salahkah saya? Tidak kan? Karena saya memang tidak tahu, tidak melihat. Sebaliknya, ketika Pak Rektor tetap mengatakan, tapi saya benar-benar datang ke rumah Gus Baha, apakah perkataan Pak Rektor itu salah? Tidak juga kan? Jadi, sama benarnya. Ribet kan jadinya?

Demikian “Ngaji Bareng Gus Baha: kerjasama UMM dengan Pesantren Tahfidzul Qur’an LP3IA” yang bisa saya narasikan. Di forum itu beliau mengurai: pertama, soal kearifan menghadapi kenyataan, bahwasanya kita mesti hanya terdikte oleh Allah swt (lihat narasi “TERDIKTE ALLAH”). Kedua, sekilas sejarah ulama Indonesia yang bersinar di Timur Tengah (lihat narasi “ULAMA INDONESIA”); dan ketiga, senam otak, yakni mengkaji fikih.

Singkatnya, Gus Baha dengan penampilan sederhana, tapi justru menunjukkan kepercayaan diri yang kuat, walau berhadapan dengan rektor dan jajaran pejabat UMM. Layaknya santri tradisional, beliau berpeci rada semerawut, tapi begitu dahsyat saat mengutip beragam kitab klasik. Gus Baha, memang belum pernah belajar di pusat keilmuan Islam di Al Ahzar Mesir, atau di Universitas Raja Abdul Aziz di Jeddah Arab Saudi, juga tak mengenyam filsafat atau teori sosial modern dari Universitas Harvard, univeristas terbaik dunia di Amerika Serikat, atau di Perancis, atau Inggris, tapi kapasitas keilmuan beliau sungguh mengagumkan.

Jadi, bagaimana mungkin saya tak berpikiran bahwa kedalaman santri salaf pun, toh akhirnya sanggup melampaui gelar-gelar akademik yang umum dibanggakan itu. Bagaimana mungkin saya tak mengasyiki ceramah-ceramah beliau, meskipun tanpa pijakan teori kritis, tanpa petuah Karl Marx.

Ungaran, 23/08/2020; 17.40