KASUS yang menerpa diri Aisyah, yang otomatis menyeret kemuliaan suaminya, merupakan serangan yang sungguh mematikan.
Sebuah serangan yang langsung menusuk ke jantung si korban. Dan Muhammad masih tetap sebagai manusia biasa yang juga dilanda kegelisahan, meski ia yakin Aisyah tak bersalah.
Nah, saya sepaham dengan penjelasan Muhammad Said Ramadhan, Aisyah adalah orang pertama yang mengetahui hakikat Muhammad.
Pertama, Muhammad sebagai utusan Tuhan tidak lantas membuatnya steril dari keadaan diri selaku manusia biasa.
Kabar dusta itu telah menyerang emosi kemanusiaan Rasulullah. Ia tidak mengetahui persis selain apa yang telah dijelaskan Aisyah dan Shafwan.
Bantahan Aisyah tak lantas membuat gelisah Muhammad surut. Sehingga, peristiwa yang meluas sekembalinya dari Bani Musthaliq, menunjukkan bahwa Muhammad tetap manusia yang memiliki perasaan dan pemikirannya sendiri sebagaimana lazimnya manusia-manusia yang lain.
Muhammad tidak memiliki kemampuan untuk mengetahui apa yang ada di balik peristiwa. Ia tidak bisa menyingkap apa yang benar-benar telah mendera istrinya. Maka, ia pun meminta pertimbangan dari Ali, dari Usamah, dan juga dari pembantu Aisyah.
Kedua, persoalan fitnah itu selesai begitu turun wahyu yang membersihkan Aisyah dari tuduhan keji. Hal ini pun menunjukkan betapa Muhammad tidak memiliki kuasa atas cepat lambatnya wahyu turun.
Wahyu Al-Quran benar-benar dari kehendak Allah, bukan dari keinginan atau rekayasa Muhammad. Wahyu berasal dari luar diri Muhammad, bukan dari dalam sebagaimana diyakini oleh sebagian cendekiawan yang menyamakannya dengan atau sebagai ilham.
Ayat-ayat Al-Quran terlepas dari emosi dan harapan Muhammad. Wahyu Allah bukanlah hasil gejolak kejiwaan dalam hatinya. Maka, dari kabar yang tersiar di seantero Madinah itu, jelas bahwa Muhammad sama sekali tidak merekayasa imajinasi dan pemikirannya agar Aisyah bisa secepatnya pulih dari tuduhan dengan membacakan ayat-ayat Al-Quran.
Muhammad, sekali lagi, hanya berperan sebagai penerima, penjelas, dan pelaksana wahyu. Ia sepenuhnya tak berwewenang agar wahyu turun lebih cepat atau lebih awal, sebelum berita bohong itu meluas dan menggerogoti keyakinan masyarakat Madinah terhadap martabat keluarganya.
Saya bayangkan saat itu Aisyah terus-terusan bermuka masam, karena ayat yang memulihkan kehormatan dirinya tak kunjung turun. Berbeda dengan kasus Zainab binti Jahsy, misalnya, Allah seketika turun mengatasi untuk membebaskannya dan menikahkan dengan Nabi.
Sementara, desas-desus yang menyeret harga diri Aisyah mesti bersilang sengkarut terlebih dahulu hingga sebulan lebih lamanya. Seolah menunggu sampai air mata Aisyah habis terkuras. Seakan ditunda-tunda hingga sakitnya semakin parah. Sampai perasaan kedua orangtuanya teraduk-aduk.
Namun, apa pun itu toh akhirnya Aisyah mengerti betul hakikat persaksiannya. Betapa suami terkasihnya adalah nabi dan rasul yang benar-benar berwajah manusiawi. Betapa yang kemudian menjadi satu-satunya hanyalah Allah, selain Dia adalah fatamorgana yang selayaknya dilupakan.