AKAN tercatat dalam sejarah apakah Mahkamah Agung (MA) menjadi penyelamat demokrasi atau justru pengimbuh indeks demokrasi Indonesia terpuruk. Tidak menutup kemungkinan justru MA-lah yang menyelamatkan demokrasi dibandingkan lembaga yang seharusnya peduli dengan demokrasi seperti partai politik, DPR dan lembaga kepresidenan.
Riset yang dipublikasikan The Economist Intelligence Unit (EIU) mencatat indeks demokrasi Indonesia pada 2022 berada di peringkat ke-54 dari 167 negara dengan skor 6,71. Angka ini sama dengan tahun lalu namun peringkatnya lebih baik tahun 2021 yaitu 52.
Batu Ujian
Salah satu momentum MA untuk membuat gebrakan dalam demokrasi adalah dalam kasus Peninjauan Kembali (PK) Partai Demokrat versi Moeldoko. PK ini menjadikan MA berada dalam pusaran politik nasional. MA mau tidak mau terseret pada urusan politik yang kompleks, tidak murni hukum.
Pikiran jernih, hati nurani dan berpikir visioner menjadi alat bantu Majelis Hakim MA yang akan memutus PK Demokrat versi Moeldoko. Kendati sidang tertutup tetapi pikiran dan mata publik saat ini tertuju pada MA.
Ada yang perlu diselamatkan MA selain masalah as usual persoalan hukum, tetapi juga soal “Demokrasi”. Memang berat bagi Majelis Hakim MA karena berbagai tekanan manifes (ancaman) dan laten (psikologis) pasti mengusik mereka. Di sisi lain demokrasi yang diperjuangkan lewat reformasi sudah menjadi kesepakatan bersama harus berjalan dalam jalur yang benar.
Indonesia yang Tak Baik-baik Saja
Putusan MA akan menjadi penting dan akan menjadi headline nasional bahkan internasional karena sangat berdekatan dengan pesta demokrasi Pemilu 2024. Putusan juga menjadi sangat penting dan bernilai karena menyangkut bakal calon wakil presiden Anies Rasyid Baswedan.
Bila putusan MA memenangkan Moeldoko maka pencalonan Anies sebagai bakal capres yang akan maju di Pemilu 2024 dipastikan batal. Karena sudah pasti Moeldoko akan menganulir dukungan kepada Anies yang otomatis suara Nasdem dan PKS tidak memenuhi ambang batas 20 persen.
Sejarah akan mencatat Anies gagal sebelum bertarung. Anies gagal sebelum berdebat secara terbuka dengan kandidat lain. Anies gagal sebelum menyampaikan visi dan misinya.
Saya pastikan hati nurani Majelis Hakim MA tidak mau seperti itu. Demokrasi harus diselamatkan dan salah satu caranya memberi kesempatan sebanyak-banyaknya calon presiden dalam Pemilu 2024. Semakin banyak kandidat semakin banyak pilihan. Sejarah juga telah mencatat, bila cuma dua pasang capres yang bertarung, politik Indonesia malah semakin gaduh, terfragmentasi dan terus terjadi pembelahan di masyarakat. Itu kita rasakan sendiri selama dua periode Pemerintahan Jokowi.
Berkacalah kepada pemilu Turki. Pemerintah Erdogan walaupun dikecam media Barat otoriter dan tidak demokratis justru memberikan kesempatan kepad lawan-lawan politiknya untuk bertarung dan adu gagasan. Kalau dia otoriter bisa saja dia membuat calon boneka atau istilah di Indonesia, bisa saja presiden cawe-cawe untuk membuat calon boneka. Tapi itu tidak dilakukannya dan justru bertarung sampai dua putaran dengan seterunya dari oposisi utama.
Sekali lagi, sejarah akan mencatat siapa preman atau bandit demokrasi dan siapa pejuang atau pahlawan demokrasi. Sejarawan akan mencatatnya, tidak hanya sejarawan lokal tetapi juga internasional.
Jangan sampai nanti cucu dan cicitnya di sekolah membaca buku, ternyata kakek atau eyangnya tercatat sebagai salah satu perusak demokrasi di Indonesia. Tapi itu semua pilihan!