Tujuan Rukun Islam: menghadirkan pemahaman tentang Allah. Berkesadaran bahwa Allah pasti mencukupi, menolong, menjaga, dan membela kita dalam menghadapi segala sesuatu.
INI masih berupa upaya. Masih di ranah keharusan, belum kenyataan. Dan entah akan sampai kapan saya bergelut terus dengan persoalan ini, saya tidak tahu.
Ya, ini berkaitan mental. Soal menjaga kewarasan sang aku. Sudah terlampau banyak seruan moral yang kita dengar di luar sana. Dan di negeri kita ini bahkan surplus imbauan moral.
Dalam lagu kebangsaan saja, perhatian terhadap pembangunan jiwa mendapat porsi pertama sebelum pembangunan fisik. Badan tetap perlu, tapi tidak mencukupi.
Bertopang pada fisik saja, akan bernilai tidak lebih dari binatang peliharaan, bahkan lebih hina. Karena binatang masih tetap berkesadaran ruang.
Sementara nilai manusia yang kita soal ini justru lebih pada kesadaran waktu. Dan sadar waktu berarti sadar hukum, mengerti sebab-akibat. Bahwa sesuatu tidak berdiri sendiri. Ada rentetan sebab yang melatari, sehingga kita memperoleh akibat.
Nah, dalam agama kita dituntun bahwa Tuhan merupakan pemegang waktu. Dia sebab pertama, tokoh utama, pelaku yang sesungguhnya.
Dengan demikian, di tengah kegigihan mengarungi gelombang hidup, kita tidak salah kiblat. Bahwa di balik kenyataan itu ada Tuhan. Tangan-Nya di balik setiap fenomena. Dan kemudian, Ia tampak di mana-mana. Bahwa kita dapat menemui-Nya setiap saat dan di semua tempat.
“Dia bersamamu di mana pun kamu berada.” (Al- Hadid: 4).
Terus, karena Dia yang utama, maka apa pun yang kita terima, sedianya berela hati. Penuh riang. Tidak protes ketika ternyata yang kita peroleh suatu yang tak mengenakkan.
Ibnu Athaillah menuturkan, misalnya seseorang masuk ke sebuah rumah yang gelap. Tiba-tiba seseorang memukulnya. Ketika lampu dinyalakan, ia melihat bahwa yang memukulnya adalah gurunya, ayahnya, atau atasannya. Setelah mengetahui siapa yang memukulnya, tentu ia akan bersabar atas apa yang menimpanya.
Itulah kiranya tujuan Rukun Islam: menghadirkan pemahaman tentang Allah. Berkesadaran bahwa Allah pasti mencukupi, menolong, menjaga, dan membela kita dalam menghadapi segala sesuatu.
Pemahaman yang demikian niscaya menyingkap rahasia penghambaan, betapa kita mesti bersabar dan bersyukur atas segala yang menyelimuti. Karena toh semua itu terjadi, berkat rencana Dia Sang Mahakarsa.
Ibnu Athaillah menuturkan lagi, suatu ketika Rasulullah Saw. melihat seorang wanita bersama anaknya. Beliau bersabda, “Mungkinkah ia melemparkan anaknya ke dalam kobaran api?”
Para sahabat menjawab, “Tentu saja tidak, Wahai Rasulullah.”
“Allah lebih menyayangi hamba-Nya yang beriman daripada wanita itu kepada anaknya,” ujar Rasulullah.
Jelaslah, apa yang menimpa kita itu adalah wujud kasih sayang Allah. Ibarat seorang ayah yang kadang harus membawa anaknya ke puskesmas untuk vaksin, itu karena sang ayah sayang pada keselamatan si anak. Atau si ayah memaksa anaknya untuk minum obat yang rasanya sangat pahit, juga demi kebaikan sang anak.
Sama seperti seorang ibu yang saking cintanya, tak akan membiarkan anaknya makan sembarangan. Ia akan mengatur pola makan, pola tidur, pola main, dan seterusnya. Dan tentu saja, saat yang demikian, si anak tidak diperkenankan mengikuti pilihannya sendiri. Ia harus menurut apa kata ayahnya, apa kata ibunya.
Seorang hamba, yang sudah melejit tingkat pemahamannya tentang Allah, tidak akan sampai hati melakukan apa pun berdasar ambisinya sendiri. Ia menjalani hidup selaras dengan ketentuan-Nya, sesuai dengan perintah-Nya.
Sang hamba tidak gampang memvonis kenyataan, karena berpegang rumus: kenyataan merupakan wujud penampakan Tuhan. “Kami tunjukkan mereka bukti-bukti Kami di segala penjuru, juga yang ada pada diri mereka sendiri.” (Fusshilat: 53).
Artinya, menerima kenyataan sama dengan menerima-Nya. Sama artinya dengan tidak ikut mengatur berdasar kepentingan sendiri. “Tuhanmu yang menciptakan sesuai dengan kehendak dan pilihan-Nya, tiada pilihan bagi mereka untuk mengambil sekehendaknya.” (Al-Qashash: 68).
Ibnu Athaillah mengurai penggalan “Tuhanmu yang menciptakan sesuai dengan kehendak dan pilihan-Nya” sedianya kita ikhlas mendapati kenyataan. Bahkan tak usah repot turut mengatur. Sebab, jika Allah mencipta apa yang Dia kehendaki, berarti Dia pun mengatur sesuai kehendak-Nya. Konsekuensi logisnya hamba tak berhak mengatur.
Pada penggalan “tiada pilihan bagi mereka untuk mengambil sekehendaknya”, kita tidak layak memilih dan merasa lebih berhak daripada Allah. Ingat, sejatinya kita hanyalah hamba, yang sama sekali tak punya hak rububiyah.
“Apakah manusia bakal mendapat yang diharap? Di tangan Allah persoalan akhirat juga masalah dunia.” (An-Najm: 24-25).
Penegasan, Tuhan tidak menguasakan kita untuk pasti mendapatkan setiap yang kita damba. Bahwa yang kita peroleh murni perkenan-Nya, bukan dari usaha kita. Sehingga, ungkapan “usaha tak mengkhianati hasil” mesti diarahkan kepada rida Tuhan. Kalau tidak, kita akan terperosok dalam kemusyrikan: berkat ketekunan kitalah, niscaya hasil dalam genggaman.
Karena, sekali lagi, semuanya ini hanya milik Allah. Betapa “Di tangan-Nya kehidupan akhirat dan dunia.”