Ya, hijrah saya dan Rahma, serta anak-anak. Hijrah kami. Bahwa kemuliaan hidup berkeluarga bukan dari seberapa berlimpah sarana materi memenuhi ruangan rumah. Bukan dari seberapa banyak perabot dan perangkat elektronik menyesakki ruang tamu dan kamar tidur kami.
Melainkan, terukur dari seberapa siap menjalani hidup bersahaja. Kenikmatan menempuh sehari-hari secara bersahaja. Tidak lagi menganggapnya sebagai “cobaan hidup”: berputus asa, memaki-maki keadaan, dan penuh prasangka jahat kepada Tuhan.
Kebahagiaan berkeluarga adalah ketika sanggup mengolah pustaka hidup. Mengatur belanja bacaan, dan bersama-sama mengobrolkannya ketika senja hampir lepas dan remang-remang menyelimuti kompleks perumahan.
Ketika warna merah di kaki langit sebelah barat menghilang, saat itulah kami bertasbih pada Tuhan. Bersama-sama menebus dosa, mengakui kezaliman diri. Betapa pikiran ini cupet kalau tak diisi oleh pustaka hidup. Betapa perasaan ini dangkal sekiranya tak bersentuhan langsung dalam pelayanan sesama dan selalu terbuka pada alam.
Walhasil, saya belajar. Kami belajar. Hijrah untuk memenuhi kedalaman relung hati dengan bunga-bunga, yakni hidup penuh keluhuran budi.