SALAH satu upaya mengurangi kerentanan dan meningkatkan kelentingan masyarakat menghadapi ancaman krisis air adalah membangun infrastruktur. Waduk merupakan infrastruktur air yang memiliki peran vital.
Melalui waduk, air hujan dengan kuantitas dan kualitas yang tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat baik untuk pertanian dan kebutuhan rumah tangga dapat ditampung, diolah, dan didistribusikan untuk memenuhi kebutuhan tersebut secara kontinu.
Salah satu indikator untuk menilai kesiapan infrastruktur menghadapi ancaman krisis air adalah perbandingan volume air tertampung di waduk dengan jumlah penduduk. Sering disebut kapasitas tampungan per kapita.
Riset terbaru oleh Zhang dan Gu yang terbit di jurnal Nature Scientific Data pada tahun 2023 memberikan data volume waduk di seluruh dunia. Dengan membagi volume waduk tersebut dengan jumlah penduduk, dihasilkan kapasitas tampungan per kapita.
Amerika Serikat, menurut data itu, menempati peringkat pertama dengan kapasitas tampungan per kapita sebesar 37 ribu meter kubik. Kanada menduduki peringkat berikutnya dengan kapasitas sebesar 22 ribu meter kubik.
Sementara itu, Indonesia menempati peringkat ke-90 dengan kapasitas tampungan per kapita sebesar 83 meter kubik. Angka ini meningkat sebesar 33 meter kubik daripada kapasitas tampungan per kapita pada tahun 2015.
Dengan pembangunan 61 waduk yang rencananya selesai pada tahun 2024, harapannya kapasitas tampungan per kapita dapat naik menjadi 120 meter kubik.
Penting melihat bahwa kapasitas tampungan per kapita Indonesia mengalami penurunan sebesar 0,69% per tahun pada periode 1997 hingga 2020. Ini menunjukkan minimnya pembangunan waduk di Indonesia pada periode tersebut sementara penduduk tetap tumbuh.
Dibandingkan negara-negara di Asia Tenggara, Indonesia masih kalah dengan Thailand, Malaysia, dan Vietnam.
Thailand berada di peringkat ke-31, Malaysia di peringkat ke-19, sementara Vietnam di peringkat ke-50. Perlu diingat bahwa kapasitas tampungan per kapita Vietnam sebesar 531 meter kubik. Dengan target kapasitas tampungan per kapita sebesar 120 meter kubik tersebut di atas, Indonesia hanya akan naik peringkat ke posisi 83, sedikit di atas Kamboja.
Akibat rendahnya kapasitas tampungan per kapita, banyak sawah yang tidak mendapatkan layanan air irigasi, disebut sawah tadah hujan. Selain itu, masyarakat yang tidak mendapatkan layanan air bersih melalui sistem perpipaan juga masih banyak.
Setidaknya, lebih dari 45% lahan sawah di Indonesia berupa sawah tadah hujan yang tersebar di Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Bali dan Nusa Tenggara. Sementara itu, Berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), hingga tahun 2018 akses air bersih perpipaan baru menjangkau 20,14% dari seluruh rumah tangga di Indonesia.
Perubahan iklim telah menyebabkan berubahnya pola hujan yang berakibat pada meningkatnya ketidakpastian tampungan air di waduk. Wilayah-wilayah yang mengalami kekeringan akan menjadi semakin kering. Dampaknya, layanan irigasi dan air bersih perpipaan akan terganggu.
Sawah-sawah yang mendapatkan layanan irigasi berpotensi mengalami kekurangan air. Dampak paling berat akan dirasakan oleh sawah tadah hujan. Layanan air perpipaan pun juga akan terkendala jika tampungan air di waduk berkurang terutama pada musim kemarau.
Sedangkan yang mengandalkan mata air atau air tanah, sekitar 80% rumah tangga, akan mengalami dampak yang lebih besar, terutama mereka yang tinggal di daerah kering.
Infrastruktur air yang ada sekarang dan yang sudah direncanakan hingga tahun 2030 masih belum siap untuk memastikan pasokan air cukup guna memenuhi kebutuhan air untuk pertanian dan rumah tangga.
Perlu upaya serius dari pemerintah untuk meningkatkan kapasitas tampungan air. Infrastruktur untuk memenuhi kebutuhan rakyat yang bersifat mendasar jauh lebih dibutuhkan daripada infrastruktur yang bersifat mercusuar. [dmr]