Pemerintah dipandang melakukan kesalahan yang sama dengan melanjutkan proses Perpres ini.
BARISAN.CO – Meski telah ditolak, proses penyusunan Perpres Peta Jalan Pengelolaan Produk Hasil Tembakau tetap dilanjutkan. Atas dasar kekecewaan itu, 20 organisasi yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil untuk Perlindungan Masyarakat dari Produk Zat Adiktif Tembakau menyampaikan sikap tegas menolak upaya penyusunan Rancangan Peraturan Presiden (Perpres) tentang Peta Jalan Pengelolaan Produk Hasil Tembakau, Rabu (2/7/2023).
Ketua Forum Warga Kota (FAKTA) Indonesia, Ary Subagyo Wibowo sekaligus salah satu perwakilan koalisi mengungkapkan sejumlah alasan penolakan terhadap rancangan Perpres Peta Jalan Pengelolaan Produk Hasil Tembakau.
“Alasan utama karena substansi dari Perpres Peta Jalan ini sama saja dengan regulasi yang sudah pernah ada, tapi telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku,” tegas Ary.
Ary menjelaskan, secara substansial Perpres Peta Jalan Pengelolaan Produk Hasil Tembakau sama, atau setidaknya bertujuan sama, dengan Peraturan Menteri Perindustrian RI (Permenperin) Nomor 63/M-IND/PER/8/2015 yang telah dinyatakan dicabut dan tidak berlaku oleh Mahkamah Agung RI, berdasarkan Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 16 P/HUM/2016.
Pencabutan Permenperin ini karena Mahkamah Agung RI menilai bertentangan dengan UU Kesehatan, UU Hak Asasi Manusia, UU Pengesahan International Covenant and Economic Social and Cultural Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Social, dan Budaya), UU Perlindungan Anak dan UU Cukai.
”Bagaimana mungkin peraturan yang sebelumnya pernah diajukan dan kemudian sudah dibatalkan, mau dibangkitkan lagi? Hal ini seharusnya tidak dilakukan karena seperti mengulang terus kesalahan yang sama,” tegas Ary.
Alasan kedua, kata Ary, karena rancangan Perpres Peta Jalan Pengelolaan Produk Hasil Tembakau mencerminkan konflik antara dua kepentingan yang tidak mungkin dipertemukan (unreconciled of interests).
“Kepentingan pertama adalah kepentingan industri tembakau yang ingin meningkatkan produksi dan konsumsi produk tembakau. Sedangkan, kepentingan kedua adalah kepentingan kesehatan dan kesejahteraan masyarakat yang seharusnya bisa menurunkan prevalensi konsumsi produk tembakau,” ungkap Ary.
Bertolak Belakang dengan RPJMN 2020-2024
Penasihat Indonesia Institute for Social Development (IISD), Sudibyo Markus menambahkan, Perpres Peta Jalan Pengelolaan Produk Hasil Tembakau bertentangan dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024.
Padahal, Arah Kebijakan dan Strategi poin 3.4 huruf (c) mengamanatkan penguatan regulasi yang mendorong pemerintah pusat dan daerah serta swasta menerapkan pembangunan berwawasan kesehatan dan mendorong hidup sehat termasuk pengembangan standar dan pedoman untuk sektor non kesehatan, peningkatan cukai hasil tembakau secara bertahap dengan mitigasi dampak bagi petani tembakau dan pekerja industri hasil tembakau, pelarangan total iklan dan promosi rokok, perbesaran pencantuman peringatan bergambar bahaya merokok, perluasan pengenaan cukai pada produk pangan yang berisiko tinggi terhadap kesehatan.
”Dari penjelasan Arah Kebijakan dan Strategi, jelas bahwa rancangan Perpres Peta Jalan Produk Hasil Tembakau bertolak belakang dengan sasaran yang ingin dicapai dalam RPJMN 2020-2024 yakni meningkatkan derajat kesehatan dan status gizi masyarakat melalui upaya kesehatan dan pemberdayaan masyarakat,” tegas Sudibyo Markus.
Lebih lanjut ia menjelaskan, rancangan Perpres Peta Jalan ini mengancam arah dan tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia 2045, sebagaimana ditegaskan dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045. Dalam bunyi amanah bagian 4.1.1 huruf (iii) RPJPN 2025-2045, kebijakan pembangunan kesehatan ditekankan pada upaya pengendalian produksi, konsumsi, dan peredaran produk yang memberikan dampak negatif terhadap kesehatan masyarakat seperti produk hasil tembakau.
Sementara itu, Ketua Lentera Anak, Lisda Sundari, menegaskan rancangan Perpres Peta Jalan Pengelolaan Produk Hasil Tembakau telah mengabaikan fakta lapangan bahwa konsumsi rokok terus mengalami peningkatan. Hal ini tercermin dalam berbagai data, seperti data Riskesdas 2018 tentang meningkatnya prevalensi perokok usia 10-18 tahun menjadi 9,1%, data Global Youth Tobacco Survey (GYTS) 2019 tentang prevalensi perokok pelajar usia 13-15 tahun sebesar 19,2%, data Global Adult Tobacco Survey (GATS) 2021 tentang prevalensi perokok dewasa sebesar 33,5% atau 68,9 juta orang.
Data lainnya, yakni Outlook Data Perokok Pelajar Indonesia menunjukkan sebesar 67,65% pelajar merokok konvensional, dan 30,88% merokok keduanya (konvensional dan rokok elektrik). Survey Nielsen pada 2022 menyebutkan, dari sisi produksi, pasar rokok dan industri hasil tembakau lokal tumbuh positif, dimana pasar rokok Indonesia tumbuh signifikan sebesar 3,7% pada 2022.
”Dari sejumlah data tersebut, jelas bahwa rancangan Perpres Peta Jalan Pengelolaan Produk Hasil Tembakau hanya akan semakin melemahkan upaya perlindungan masyarakat dari jeratan adiksi produk hasil tembakau,” pungkas Lisda. [Yat]