Laporan Eartworks mengungkapkan, satu cincin emas menghasilkan 20 ton limbah tambang.
BARISAN.CO – Emas menjadi komponen perhiasan yang populer dan berharga selama berabad-abad. Logam ini terkenal tahan terhadap pelarut, tidak usang, dan relatif mudah dibentuk.
Laporan Earthworks mengungkapkan, satu cincin emas menghasilkan 20 ton limbah tambang. Angka itu sangatlah besar mengingat, begitu banyaknya cincin emas di dunia, belum lagi ditambah perhiasan yang berasal dari emas.
Ahli Hidrologi Universitas Jenderal Soedirman, Yanto Ph.D menyampaikan, hal itu bisa saja terjadi mengingat, secara umum biji logam tersembunyi di dalam tanah dengan fraksi yang sangat kecil, seperti besi, nikel, emas dan berbagai jenis logam yang lain berada dalam kadar yang sangat kecil.
“Sebagai contoh, emas dapat dikatakan ekonomis untuk ditambang jika kadarnya lebih besar dari 4 ppm (part per million). Artinya, dalam 1 ton tanah, hanya terdapat 4 gram emas,” ujarnya kepada Barisanco beberapa waktu lalu.
Menurutnya, hal itulah yang kemudian membuat penambangan emas menghasilkan limbah dalam volume yang besar. Selain limbah dalam bentuk tailing, Yanto menyebut, penambangan emas juga menghasilkan limbah bahan berbahaya dan beracun (B3).
“Ini karena proses produksi emas memerlukan bahan-bahan kimia berbahaya, salahsatunya adalah merkuri. Selain dari proses produksi pengolahan, limbah B3 dari penambangan emas juga dihasilkan dari fasilitas pendukung dan alat transportasi” jelasnya.
Sementara, dia berpandangan, volume limbah penambangan emas yang dimaksud dalam data Earthworks di atas mencakup keseluruhan limbah yang dihasilkan dari proses produksi emas, mulai dari hulu sampai ke hilir.
Volume tersebut disebut tidak 100 persen berupa limbah B3. Namun, Yanto mengungkapkan, memang yang paling besar adalah limbah tailing.
“Limbah dari penambangan emas bukan tidak ada manfaatnya sama sekali atau bukan juga berbahaya sepenuhnya. Limbah tersebut masih bisa digunakan kembali atau didaur ulang,” ungkapnya.
Selain itu, dia menambahkan, pengolahan limbah harus menjadi syarat utama perizinan pertambangan.
Limbah tailing, misalnya, kata Yanto, dapat digunakan sebagai material sebagai material konstruksi. Sebagai bahan urugan atau ballast jalan.
“Beberapa jenis limbah tailing juga dapat dijadikan lapisan atas lahan pertanian. Sebagian besar limbah tailing digunakan untuk reklamasi,” tambahnya.
Limbah B3 memang berbahaya, namun demikian, Yanto menyebut, teknologi pengolahan limbah yang ada sekarang juga sudah mampu mengolah LB3 sehingga tidak membahayakan kesehatan.
“Untuk mengurangi dampak limbah pertambangan emas, yang perlu dilakukan adalah pengawasan ketat oleh pemerintah terhadap usaha pertambangan dalam hal pengelolaan sampah, kajian yang mendalam terhadap rencana pertambangan dan penegakan hukum terhadap pelanggaran kewajiban mengelola limbah,” paparnya.
PT Freeport Indonesia sejak tahun 1995 diketahui membuang limbah tambang ke area hulu Sungai Ajkwa. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) memperkirakan, rata-rata kapasitas produksinya mencapai 300.000 ton, namun limbah yang dihasilkan Freeport sebanyak 230 ribu ton. Akibatnya, air tercemar, kerusakan hutan dan kebun sagu, serta masyarakat sekitar terisolasi, bahkan terkena penyakit.
Dalam kasus Freeport tersebut, Yanto mengatakan, ada beberapa penyebab yang mungkin bisa terjadi. Pertama, dampak lingkungan akibat pembuangan limbah tailing ke sungai tersebut tidak dikaji secara teliti, sehingga kewajiban Freeport terhadap pengelolaan lingkungan kurang menyeluruh.
“Kemungkinan kedua, Freeport tidak secara akurat menyampaikan laporan pengelolaan lingkungan dan kondisi lingkungan terdampak. Dan, yang terakhir, lemahnya penegakan hukum terhadap pelanggaran lingkungan,” lanjut Yanto.
Dia menerangkan, satu-satunya solusi pendek yang bisa dilakukan Freeport dengan memberikan kompensasi bagi masyarakat. Sebab, jika harus melakukan sterilisasi lingkungan terdampak, Yanto menyebut, akan sangat mahal.
“Hitungan ekonominya buat pemegang saham sekarang jadi merugikan. Selain itu, pengelola Freeport harus meminimalkan pembuangan limbah tailing ke sungai atau memanfaatkannya untuk kepentingan lain,” tuturnya.
Namun demikian, Yanto menuturkan, cara itu tidak akan mudah karena pengelolaan lingkungan sudah ditentukan bentuk dan jenisnya. Sehingga, dia menyarankan, adanya kaji ulang dampak lingkungan dan bentuk pengelolaan dampaknya.