Harita Group diduga melakukan siasat licik dengan menerobos lahan warga.
BARISAN.CO – Jatam rilis laporan “Jalan Kotor Kendaraan Listrik”, yang secara khusus mengupas jejak kejahatan lingkungan dan kemanusiaan di balik gurita bisnis Harita Group, Jumat (24/3/2023).
Dalam acara tersebut, Melky Nahar, Koordinator Jatam menyampaikan, riset ini berangkat dari narasi pemerintah dan industri yang mengklaim kendaraan listrik atasi krisis iklim karena rendah emisi, yang seolah-olah tidak punya daya rusak bagi warga maupun lingkungan.
Selanjutnya, riset ini juga diangkat karena Harita Group telah Initial Public Offering (IPO) pada minggu lalu. Atas dasar itulah, Melky menilai laporan ini amat penting agar dapat memberikan informasi utuh terkait jejak kejahatan Harita Group di wilayah Pulau Obi, Maluku Utara dan Pulau Wawonii, Sulawesi Tenggara.
“Dari laporan yang ditulis, daya rusak di kedua pulau hampir serupa. Pertama, terkait urusan lahan warga yang selama ini menjadi persoalan genting bagi masyarakat,” kata Melky.
Jatam menemukan, pola sama yang dilakukan koorporasi untuk memperluas wilayah operasi produksi tambang nikel, smelter, dan PLTU (Pembangkit Listrik Tenaga Uap).
“Salah satunya, sekelas Harita dengan sejumlah anak perusahaannya sering kali melakukan penerobosan lahan warga tanpa ada negosisiasi. Menerobos dulu, baru membuka ruang diskusi dan selalu terjadi, yang bahkan kalau kami hitung, tidak kurang dari lima kali,” tambahnya.
Kedua, dalam proses penerobosan lahan tersebut, Melky menyebut, koorporasi cenderung menggunakan tindakan represif dengan bantuan aparat keamanan, entah itu Polri atau TNI yang berada di lapangan ketika itu terjadi.
“Sayangnya, tidak dalam rangka memastikan apa yang menjadi hak warga yang dijamin negara, justru mereka mempermudah langkah koorporasi. Intimidasi kekerasan di Pulau Wawonii, ada 35 orang yang dikriminalisasi, 5 diantaranya terkait kawasan hutan, 30 lainnya terkait lahan itu sendiri,” sambungnya.
Melky menerangkan, yang menjadi aktor penting dalam kejadian ini adalah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Disebutkan, di Wawonii, lahan di area hutan diterobos paksa, padahal warga sudah puluhan tahun menguasainya, bahkan membayar pajak. Melky melanjutkan, warga yang memiliki bukti sah kepemilikan atas lahan itu justru dianggap menghalangi aktivitas perusahaan.
“Sehingga ketika warga dikriminalisasi, institusi Polri malah memprosesnya dengan mudah dan satu warga sudah ada yang dipenjara. Hal ini sama terjadi di Pulau Obi, eskalasi kekerasan itu benar-benar tinggi, meski ditentang, warga dipaksa melakukan proses ganti rugi,” jelasnya.
Diduga ada kongkalingkong juga dengan perangkat desa dalam upaya mempercepat proses ganti rugi tanah warga.
“Pola lainnya, klaim sepihak warga itu sendiri. Di Pulau Wawonii, ada warga yang bergerak dan bertransaksi denga perusahaan, padahal tidak memiliki bukti valid kepemilikan,” terangnya.
Melky menuturkan, di kedua wilayah itu, eskalasi kekerasanya sangat kencang.
Dia melanjutkan, ada ancaman lain dari perampasan lahan warga tersebut, yakni krisis pangan karena awalnya, lahan yang dialih fungsikan merupakan lahan produktif untuk sumber kehidupan.
“Ketika terjadi penerobosan, ekonomi warga semakin menurun. Dalam jangka panjang, warga di dua pulau akan mengalami krisis pangan karena kehilangan ruang produksi,” imbuhnya.
Hal vital lainnya yang akan lenyap, kata Melky, terkait sumber air pasca perusahaan membongkar sebagian kawasan hutan di daratan hingga pesisir.