“Jerman kurang flair,” tulis Bergas pada akun X.com miliknya.
BARISAN.CO – Apes nasib Hansi Flick. Sukses besar bersama Bayern Munchen justru tak menular ke nasibnya bersama Timnas Jerman. Ia tak mampu memberi satu pun hasil positif dalam lima laga terakhir.
Jerman menerima empat kekalahan dan satu hasil seri. Dan, empat dari lima lawan yang mereka hadapi padahal bukanlah tim-tim kuat. Berdasarkan peringkat FIFA, hanya Belgia yang berada di atas Jerman. Sedangkan, empat tim lainnya berada di bawah mereka.
Nyatanya, peringkat FIFA itu tak menjamin kualitas permainan Jerman. Mereka pun tak berkutik dicukur 4-1 oleh Jepang. Hasil memalukan itu semakin membulatkan kesimpulan bahwa Jerman sedang memburuk.
Akhirnya, tak berselang lama setelah itu, Flick didepak dari kursi pelatih Der Panzer. Hanya dua tahun ia memegang tampuk kepelatihan sejak 1 Agustus 2021 lalu. Sebuah waktu yang singkat, tanpa satu pun gelar yang berhasil ia persembahkan untuk negaranya.
Minim Pemain Berbakat
Memburuknya performa Timnas Jerman sejatinya tidak bisa disalahkan sepenuhnya kepada mantan pelatih Munchen itu. Menurut Bergas Agung Brilianto, Co-Founder The Flanker, pemain-pemain Jerman dalam skuad Flick pilihannya terbatas.
“Jerman kurang flair,” tulis Bergas pada akun X.com miliknya. Dalam analisanya, ia menilai situasi yang Flick hadapi di Timnas Jerman berbeda dengan apa yang ia alami di Munchen.
Di Munchen, ia bekerjasama dengan talenta-talenta berbakat. “Flick di Bayern ngandelin flair pemainnya banget untuk fase ofensif dengan bola di kaki,” jelas Bergas. Memang, nama-nama seperti Robert Lewandowski, Serge Gnabry, Jamal Musiala, Munchen adalah para kreator juga eksekutor serangan Munchen yang mengancam lawan.
Pusing dengan pilihan skuad Jerman yang terbatas, Flick juga harus menerima beberapa pemain alternatifnya harus menepi karena cedera dan inkonsistensi permainan. Sementara itu, ia tak kunjung rampung menyetel pola permainan terbaik Tim Panser Jerman.
Bergantung pada Individu
Kekalahan telak Jerman dari Jepang sejatinya tak bisa dijadikan ukuran tunggal terhadap penilaian Flick. Ada banyak faktor yang mesti disertakan dalam penilaian tersebut.
Namun, pertandingan melawan Jepang setidaknya menggambarkan Flick belum mampu menyatupadukan skuadnya dalam sebuah sistem. “Dalam fase menyerang di bawah Flick, Jerman bergantung pada individu-individu tersebut untuk membuat perbedaan,” terang Bergas.
Jepang yang disiplin dengan dengan low/mid block dan permainan off the ball yang bagus langsung menghukum kesalahan Jerman itu. Meski organisasi permainan Jerman berjalan amburadul, untung Jerman mempunyai individu yang bagus sehingga mampu membalas satu gol lewat sepakan Leroy Sane.
Bergas menyayangkan keroposnya tembok pertahanan Jerman. Menurutnya, pilihan Süle dan Schlotterbeck sebagai pemain starter mesti dievaluasi. Lalu, Kimmich yang kembali ke posisi full-back menurutnya justru mengekang kreativitas tim.
Oleh karenanya, setelah lengsernya Flick dari Timnas Jerman, maka PR yang harus dibenahi oleh penggantinya adalah membangun sistem yang kompatibel dengan skuad Jerman. Saat ini, Jerman telah kehilangan permainannya yang pragmatis. “Gapapa (Jerman) pragmatis andelin counter juga, toh itu kecakapan Jerman dari dulu,” sebut Bergas.
Jerman yang memiliki pemain bertipikal off the ball apik, seperti Kai Havertz dan Ilkay Gündoğan adalah modal bagus bagi permainan pragmatis Jerman. Selanjutnya, menarik untuk melihat pelatih pengganti mengorganisir skuad Jerman yang bervariasi.