Kampanye hitam dan kampanye negatif sama-sama menunjukkan aspek minor. Tetapi, ada perbedaan aspek hukum dari keduanya.
BARISAN.CO – Mendekati Pemilu 2024 yang akan diselenggarakan pada tanggal 14–15 Februari 2024, atau 5 bulan dari sekarang, penting bagi kita untuk mengenal seluk beluknya. Termasuk konsekuensi kampanye hitam dan kampanye negatif.
Saat ini, fase pemilu sedang berada dalam masa pencalonan untuk anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten atau kota. Fase ini telah berjalan sejak 24 April lalu. Tahap pencalonan anggota DPR dan DPRD provinsi serta kabupaten/kota akan berakhir bersamaan dengan tahap pencalonan Presiden dan Wakil Presiden pada tanggal 25 November 2023.
Meskipun berakhir pada waktu yang sama, tahap pencalonan Presiden dan Wakil Presiden akan dimulai pada tanggal 19 Oktober 2023. Saat ini, telah muncul tiga nama kandidat potensial untuk calon presiden, yaitu Anies Baswedan, Prabowo Subianto, dan Ganjar Pranowo.
Setelah melalui tahap pendaftaran calon anggota DPR, DPRD, Presiden, dan Wakil Presiden, langkah berikutnya dalam Pemilu adalah masa kampanye pemilu. Kampanye ini dijadwalkan akan dimulai pada tanggal 28 November 2023, tiga hari setelah masa pencalonan DPR, DPRD, Presiden, dan Wakil Presiden, dan akan berlangsung hingga 10 Februari 2024.
Menurut Peraturan KPU RI Nomor 23 Tahun 2018, kampanye pemilu didefinisikan sebagai aktivitas peserta pemilu atau pihak yang ditunjuk oleh peserta pemilu untuk meyakinkan pemilih dengan mempresentasikan visi, misi, program, dan/atau citra peserta pemilu.
Namun demikian, dalam pemilu, kampanye tidak selalu berfokus pada ajakan positif untuk memilih kandidat tertentu, tetapi juga mencakup kampanye yang menyoroti aspek negatif dari seorang kandidat. Ini adalah jenis kampanye yang perlu dihindari.
Ada juga jenis kampanye yang menyebarkan informasi palsu tentang salah satu kandidat dengan tujuan merusak citra kandidat tersebut. Kampanye model ini sering disebut sebagai kampanye hitam.
Sebagai contoh, pada Pemilu 2019, cawapres Prabowo, yaitu Sandiaga Uno, menjadi korban kampanye hitam melalui sebuah akun media sosial yang bernama “Skandal Sandiaga”.
Mengenai ini, perlu ada pemahaman lebih mendalam terkait perbedaan kampanye hitam dan kampanye negatif.
Kampanye negatif mempertunjukkan kelemahan dan kesalahan lawan politik dengan menggunakan data riil. Penggunaan kampanye negatif dianggap sah secara hukum dan bahkan dapat membantu pemilih dalam membuat keputusan.
Namun, pihak yang menjadi sasaran kampanye negatif dapat membalas dengan menggunakan data yang lebih valid atau argumen yang lebih meyakinkan.
Penting untuk dicatat bahwa terdapat perbedaan aspek hukum antara kampanye hitam dan kampanye negatif, di mana kampanye hitam punya sanksi pidana berdasarkan Pasal 280 ayat 1 huruf d UU Pemilu dengan ancaman pidana penjara paling lama 2 tahun dan denda maksimal Rp24 juta. [dmr]