Sontak penjelasan Prof. Emil Salim membuat suasana hening.
BARISAN.CO – Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) memberikan Climate Hero Award kepada tokoh dan kelompok di Indonesia yang telah mengadvokasikan isu iklim untuk mencapai net zero. Penghargaan itu merupakan rangkaian acara Indonesia Net-Zero Summit 2023: It’s Now or Never yang berlangsung di Jakarta, Minggu (25/6/2023).
Penerima penghargaan antara lain Mercy Chriesty Barends selaku Ketua Kaukus Ekonomi Hijau DPR RI dan Anggota Komisi 7 bidang Energi, Riset dan Teknologi serta Lingkungan yang dianggap telah mengabdikan diri sebagai wakil rakyat selama hampir satu dekade. Selama menjabat, Mercy juga, ungkap FPCI, konsisten terhadap kebijakan yang prolingkungan dan proiklim.
Penghargaan kedua untuk kelompok terpenting sebagai garda terdepan bangsa untuk menjaga alam dan melindungi ekosistem tanah air yakni masyarakat adat. FPCI menganugerahkan penghargaan tersebut kepada Komunitas Adat Marena yang telah mengimplementasikan nilai-nilai kearifan lokal melalui aluk tanah. Filosofinya, manusia berasal dari tanah, maka sudah sepantasnya juga tanah harus dijaga. Rukka Sombolinggi selaku Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mewakili masyakat adat menerima penghargaan tersebut.
Selanjutnya, Climate Hero Award diberikan kepada Menteri Lingkungan Hidup Pertama Indonesia, Prof. Emil Salim. Namun, dia dengan tegas menolak penghargaan tersebut.
Penjelasan Prof. Emil Salim Tolak Climate Hero Award
Prof. Emil Salim menyampaikan, dia tidak layak menerimanya karena merasa gagal menjalankan konvesi Rio 1992 yang dia tandatangani. Saat itu, dia mewakili Presiden Soeharto yang terlambat hadir karena Pemilihan Umum (Pemilu).
“Besar tangggung jawab yang saya rasakan. Tiga puluh tahun kemudian, laporan pelaksanaan konvensi itu diumumkan. Ketika saya baca laporan tersebut ternyata semua pemerintahan di dunia gagal melaksanakan konvensi tersebut termasuk Indonesia,” kata Prof. Emil Salim dalam pidatonya.
Dari laporan itu, dia menemukan, dari kedua konvensi itu, hasil untuk Indonesia tergolong buruk untuk menyelamatkan alam. Dia menambahkan, dunia dan Indonesia gagal yang berakibat naiknya suhu 1,5 derajat di atas rata-rata suhu di masa Revolusi Industri di abad ke-18 antara 2030-2050.
Yang ini menyebabkan, manusia terdampak dan harus mengatasi ancaman krisis air minum, pangan, dan lain-lain. Inilah yang membuatnya merasa tidak pantas menerima penghargaan tersebut.
Dia menjelaskan, kita perlu menyiapkan diri menghadapi kenyataan atas kemungkinan buruk yang bisa terjadi.
“Tapi usia sudah lanjut dan saya terpaksa meminta diri kepada semua dengan kata maaf bahwa bila pernah memimpin lingkungan hidup selaku menteri atau selaku NGO, tetapi gagal melaksanakannya. Saya tidak patut menerima penghargaan ini,” ujar Prof. Emil Salim.
Sontak ucapan Prof. Emil Salim membuat suasana hening bahkan mata dari Founder FPCI, Dino Patti Djalal tampak berkaca-kaca.
Di hati nurani berkata, lanjutnya, perjuangan mengatasi krisis lingkungan memerlukan gerak kita semua dengan semangat yang lebih baru dari yang telah kita alami kemarin.
“Dan, saya sudah mencari cara baru, tapi sementara itu, kepada bangsa, kepada tanah air, kepada semua teman-teman di NGO, sebagai masyarakat yang membantu saya, saya mohon maaf bahwa kita tidak berhasil mencapai cita-cita konvensi perubahan iklim dan biodervisity,” terangnya.
Bukan persoalan menerima atau menolak, jelas Prof. Emil Salim.
“Ini persoalan hati nurani. Mohon maaf.. terima kasih supaya Tuhan melindungi tanah air kita,” tandasnya. (Yat)