BARISAN.CO – Aksi bullying atau perundungan di lingkungan sekolah kembali terjadi, bahkan memakan korban jiwa. Seorang siswi yang duduk di kelas 2 Sekolah Dasar (SD) di Kabupaten Sukabumi mengembuskan napas terakhirnya usai diduga mengalami tindak penganiayaan oleh teman satu sekolah.
Perundungan itu diduga terjadi pada 15 dan 16 Mei 2023. Di mana pelajar yang duduk di bangku kelas 2 SD ini dianiaya oleh kakak kelasnya dan teman seangkatannya.
Akibat penganiayaan itu, korban mengeluh dada dan punggungnya merasa sakit dan sesak napas. Awalnya MDH tidak mengaku bahwa sakit yang dialaminya itu akibat penganiayaan.
Namun akhirnya baru mau mengaku setelah dibujuk oleh dokter rumah sakit yang menanganinya dan mengaku bahwa ia telah dianiaya oleh kakak kelas dan teman seangkatannya yang berjumlah empat orang.
Karena kondisi kesehatan korban terus menurun akhirnya keluarga korban membawa MDH ke rumah sakit untuk menjalani perawatan. Namun di hari ke empat perawatan atau pada Sabtu (20/5/2023), korban muntah darah dan akhirnya meninggal dunia.
Menurut Yanto, sehari pasca korban dikebumikan atau Minggu, (21/5/2023) Satreskrim Polres Sukabumi Kota telah memeriksa sejumlah saksi terkait peristiwa dugaan penganiayaan yang mengakibatkan korban meninggal dunia.
Sekolah Harus Bertanggung jawab
Pemerhati anak dan pendidikan, Retno Listyarti menilai sekolah seharusnya bertanggung jawab atas segala perundungan maupun tindak kekerasan yang terjadi di lingkungan sekolah.
Seharusnya menurut Retno, pihak sekolah harus bertanggung jawab terhadap kasus yang menimpa peserta didiknya sudah tertuang dalam Pasal 54 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.
“Sekolah wajib melindungi peserta didik dari berbagai bentuk kekerasan yang dapat dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan maupun sesama peserta didik,” ungkap Retno dilansiir dari Inilah.com (24/5/2023).
Dalam rangka mengantisipasi kembali terjadinya bullying itu, tambah Retno, sekolah wajib membentuk satuan tugas (satgas) anti kekerasan dan membuat Standar Operasional Prosedur (SOP) untuk menyelesaikan kasus kekerasan yang sudah terjadi di lingkungan sekolah. Tindakan ini dinilai akan memiliki efek jera pada pelaku agar tidak mengulangi perbuatannya.
“Misal anak seperti kasus (meninggalnya anak kelas 2 SD karena dikeroyok seniornya) ini, maka anak pelaku seharusnya mendapatkan sanksi dari sekolah,” kata Retno.
Selanjutnya jika ada laporan ke kepolisian, maka polisi menggunakan Undang-Undang Perlindungan Anak dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) untuk menindak tegas pelaku bullying yang melibatkan sesama murid sekolah.
Polisi juga dapat memfasilitasi diversi atau penyelesaian di luar pengadilan jika ternyata pelaku merupakan anak usia dibawah 12 tahun.
Lebih lanjut eks komisioner KPAI tersebut menyayangkan tindakan pihak sekolah yang tidak bertanggung jawab atas terjadinya tindakan kekerasan yang berada di lingkungan pendidikan. Ia menilai pihak sekolah telah gagal melindungi muridnya selama berada di lingkungan sekolah.
“Kalau sampai terjadi kekerasan, maka sekolah gagal melindungi anak-anak selama berada di sekolah,” tandasnya. [rif]