Kolam renang besar dan halaman rumput yang terpelihara dengan baik milik elite kaya merampas akses air masyarakat miskin.
BARISAN.CO – Akses ke air diakui oleh PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) sebagai hak asasi manusia yang mendasar. Namun, sekitar 2 miliar orang di seluruh dunia tidak memiliki akses ke air minum yang bersih dan aman menurut United Nations World Water Development Report yang dirilis Maret lalu.
PBB menargetkan untuk mencapai akses ke air minum yang aman dan terjangkau bagi semua orang pada tahun 2030. Namun, tingkat investasi global saat ini hanya sekitar sepertiga dari yang dibutuhkan untuk mencapai target ini.
Hal ini diperparah dengan keserakahan kaum elite yang merampas hak dasar manusia ini. Mengutip Study Finds, para peneliti dari University of Reading menemukan, kolam renang besar dan halaman rumput yang terpelihara dengan baik milik elite kaya merampas akses air masyarakat miskin.
Penulis studi melaporkan, ketidaksetaraan sosial mendorong krisis air perkotaan bahkan lebih dari faktor lingkungan seperti perubahan iklim atau pertumbuhan populasi perkotaan yang berkelanjutan.
Lebih spesifik lagi, para peneliti mendapati, elite perkotaan cenderung mengonsumsi air secara berlebihan untuk keperluan pribadinya, seperti mengisi kolam renang, menyirami taman, atau mencuci mobil.
Tim internasional berfokus pada Cape Town, Afrika Selatan, di mana krisis air perkotaan telah menyebabkan banyak orang kurang mampu hidup tanpa keran atau toilet, sehingga harus menggunakan air mereka yang terbatas untuk minum dan kebersihan.
Selain itu, penelitian tersebut juga mempertimbangkan 80 kota tambahan di seluruh dunia, termasuk London, Miami, Barcelona, Beijing, Tokyo, Melbourne, Istanbul, Kairo, Moskow, Bangalore, Chennai, Jakarta, Sydney, Maputo, Harare, Sao Paulo, Mexico City, dan Roma.
“Perubahan iklim dan pertumbuhan populasi berarti menjadikan air sebagai sumber daya yang lebih berharga di kota-kota besar, tetapi kami telah menunjukkan bahwa ketidaksetaraan sosial adalah masalah terbesar bagi orang miskin yang mendapatkan akses ke air untuk kebutuhan sehari-hari mereka,” kata Profesor Hannah Cloke, ahli hidrologi di University of Reading yang ikut menulis studi tersebut.
Dia menyebut, lebih dari 80 kota besar di seluruh dunia telah menderita kekurangan air karena kekeringan dan penggunaan air yang tidak berkelanjutan selama 20 tahun terakhir.
“Tetapi, proyeksi kami menunjukkan, krisis ini masih bisa menjadi lebih buruk karena kesenjangan antara si kaya dan si miskin melebar di banyak belahan dunia,” tambahnya.
Hannah menyampaikan, hal ini menunjukkan keterkaitan yang erat antara ketimpangan sosial, ekonomi dan lingkungan.
“Pada akhirnya, setiap orang akan menanggung akibatnya kecuali kita mengembangkan cara yang lebih adil untuk berbagi air di kota-kota,” jelasnya.
Kaum Elite Menggunakan Setengah dari Air di Perkotaan
Proyek yang dipimpin oleh Dr. Elisa Savelli di Universitas Uppsala, Swedia, bersama rekan penulis dari University of Reading, Vrije Universiteit Amsterdam, dan Universitas Manchester.
Menggunakan model yang dirancang untuk menganalisis penggunaan air rumah tangga penduduk perkotaan di Cape Town, para peneliti berupaya lebih memahami bagaimana kelas sosial yang berbeda mengonsumsi air.