APA yang dapat disimpulkan dari dialog antara kaum muda kampus – para mahasiswa FISIP UI dengan bacapres Anies Baswedan kemarin di kampus UI adalah, upaya kembalinya kaum muda kampus dalam menempatkan posisi strategisnya sebagai pemegang kunci masa depan.
Proses dialog yang bisa kita ikuti di berbagai media sosial memperlihatkan, dialektika yang dibangun oleh kaum muda kampus dalam ikut membangun iklim demokrasi sehat memang harus selalu diwarnai pertukaran pikiran dan adu gagasan-gagasan penting.
Sesuatu yang kini tengah dikhawatirkan oleh berbagai pengamat demokrasi di Indonesia tentang kemunduran kualitas demokrasi (plus kualitas otak) yang jatuh “jomplang” dalam berbagai indeks demokrasi.
Momentum Gerakan memuliakan proses dialog dan pertukaran pikiran tersebut tentu harus diikuti oleh mahasiswa di berbagai kampus lainnya di Indonesia, yang pasti akan memunculkan serangkaian ide dan lontaran-lontaran penting. Kampus ITB, UGM, UNAIR, UNBRAW dan lain-lain pasti punya serangkaian gagasan yang harus didialogkan secara kritis dengan para bacapres yang tengah berkampanye untuk bisa memimpin Indonesia pada Pemilu 2024.
Tentu saja tulisan ini bukan hendak mengampanyekan dukungan bagi sesiapa calon bacapres, tetapi lebih pada mendorong dengan sangat, upaya-upaya kritis para calon penerus bangsa dalam menyikapi segala dinamika yang terjadi pada proses pertarungan ide-ide demokrasi.
Tentu tidak bijaksana juga seandainya kita langsung menuduh gerakan mahasiswa tidak paham realitas politik dengan potensi adanya kemungkinan kecurangan pemilu yang diindikasikan amat mungkin terjadi (kasus 52 juta daftar nama tak jelas).
Sehingga Pemilu 2024 dikatakan percuma saja, serta gerakan mahasiswa kini lebih memilih untuk melakukan perubahan dengan jalan mekanisme demokrasi prosedural biasa lewat pemilu daripada berdarah-darah lewat jalan revolusi.
Gerakan Mahasiswa dan Realitas Politik
Bahwa gerakan mahasiswa gagal dalam mencegah disahkannya Undang-undang bermasalah pada 2019 dan 2020 (UU KPK dan UU Ominibus Law), dan serangkaian UU lainnya yang diprotes banyak kalangan sipil, harus kita sikapi kemudian dengan memahami ada banyak situasi yang berkembang sehingga kegagalan tersebut memang di luar batas kemampuan gerakan mahasiswa sebagai salah satu kelompok penekan. Di antaranya kenyataan lebih dari 80 persen anggota parlemen adalah para pendukung kekuasaan.
Meski ada banyak permasalahan gawat yang sebetulnya membutuhkan proses keras dari kaum muda antara lain penawaran sewa 160-190 tahun bagi investor di lokasi IKN, sementara kita merdeka baru saja 78 tahun, dan langkah memalukan presiden yang cawe-cawe dalam urusan pilpres 2024.
Dari dinamika sengit di atas, agaknya mahasiswa harus menyadari bahwa masalah utama bukan pada konfigurasi politik dan kuatnya benteng kekuasaan yang menjaga gedung parlemen berlapis-lapis, tetapi pada suprastruktur (sistem dan undang-undang parpol, UU Pemilu, dll) yang harus dibedah total.
Sehingga tidak lagi memungkinkan hanya pemodal kuat yang dapat lolos menjadi anggota parlemen. Begitu pula para pemodal yang lenggang kangkung menjadi anggota kabinet, dengan mengabaikan faktor kualitas personal.
Dari itu semua, gerakan mahasiswa sudah bisa mengambil pisau analisis dari apa yang harus dilakukan untuk memperbaiki keadaan runyam tersebut. Moral force yang diimbangi dengan kekuatan pemikiran pasti bisa memunculkan gagasan-gagasan genial tentang langkah urgent ke depan dalam persoalan perbaikan nasib bangsa.
Itu semua harus bisa dilakukan dalam serangkaian gerakan penyadaran bagi para pemilih dengan sosialisasi pada realitas kekinian. Realitas kesulitan ekonomi yang dialami banyak kalangan menengah bawah, berikut peta kemiskinan dengan 27,7 juta lebih kaum miskin (2017) dan indeks rasio gini terakhir.
Mengapa Harus Kaum Muda?
Lintasan sejarah peran penting kaum muda Indonesia dalam mengawal perubahan telah ditorehkan para kader angkatan HOS Tjokroaminoto dulu, serta anak anak muda Menteng Raya 31 pada 1945.
Di situlah peran kekuatan berpikir dan berstrategi kaum muda menemukan jalannya. Siapa sangka kenekadan para pemuda dalam peristiwa penculikan Rengasdengklok berhasil mendesak Soekarno-Hatta untuk segera mendeclare Kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945 dan mencegah Indonesia menjadi bangsa memalukan karena diberikan kemerdekaan oleh bangsa lain.
Peran kekuatan pikiran kaum muda pula yang sukses membangunkan kesadaran akan rusaknya pengaruh modal asing dalam meninabobokkan Indonesia dalam jeratan utang luar negeri pada era 1970-an. Meski diganggu oleh peristiwa Malari 1974, tetapi gagasan kritis anti modal asing telah menyadarkan banyak pihak. Begitu pula dengan gerakan kritis kaum muda 1977-1978.
Adakah kekuatan pikiran dan strategi-strategi cerdas akan berhasil juga dibangun oleh Melki Sedek Huang dan kawan-kawan?
Undangan Melki Cs dari BEM UI untuk dialog langsung di kampus UI Depok pada (14/09/2023) kepada para bacapres sedikit banyak telah mengubah pandangan khalayak tentang “kreativitas” berikutnya dari gerakan mahasiswa, setelah sibuk berdemo pada beberapa tahun terakhir.
Akan lebih bagus kiranya, jika mahasiswa langsung saja memanggil eksekutif, presiden dan para menterinya pada sidang parlemen mahasiswa guna mempertanggungjawabkan semua kebijakan yang telah ditelurkan.
Kaum muda berhak dan punya kewajiban moral untuk mempertanyakan. Tak lain karena merekalah para pengemban amanah dan penderitaan rakyat kelak ke depan. Jika kualitas demokrasi telah susut sekian banyak, maka kaum muda wajib menggugat, mengapa hal itu terjadi.
Mengapa bonus demografi menjadi tinggal pepesan kosong padahal Indonesia punya 100 juta lebih angkatan muda produktif. Hal itu tak lain akibat dari kekosongan ide dan gagasan dalam mengelola sumber daya manusia. Belum lagi angkatan kerja industri yang 60% lebih hanya diisi oleh lulusan SD-SMP, dan sulitnya lapangan pekerjaan bagi ribuan lulusan S1 setiap tahun.
Penutup
Melki Sedek Huang Cs dari BEM UI dan ratusan ribu mahasiswa seluruh Indonesia, harus maju ke depan untuk ikut membawa agenda perubahan. Bukan dalam posisi memihak salah satu capres, tetapi memastikan proses penguatan iklim demokrasi kembali berjalan dalam langgam yang benar. Ikut serta dalam proses penguatan daya pikir, daya imaginasi hendak ke mana Indonesia akan dipertaruhkan.
Membedah pola pikir dan apa agenda para bacapres adalah juga satu acara penting, karena anggaran pemilu yang triliunan telah dan akan lagi digelontorkan. Tantangan meningkatkan daya pikir dan daya gagas kaum muda memang ada-ada saja. Antara lain dari Menteri Nadiem yang telah mencoret kewajiban skripsi S1, dan disertasi S2, S3.
Langkah Nadiem jelas merupakan bagian dari masalah Indonesia. Sementara semua tahu, daya literasi anak Indonesia begitu memprihatinkan ( 1 : 1000 yang suka baca serius). Baru membaca saja, belum menuliskan ide dan pokok-pokok pikiran. Hal-hal strategis itu sangat perlu dilakukan oleh mahasiswa dan kaum muda, agar Indonesia tidak lagi tertipu membeli kucing dalam karung, yang ternyata tuyul beracun. [Luk]