Ketika masih remaja, Tiara dipaksa keadaan untuk menjadi dewasa.
BARISAN.CO – Perempuan supel itu bernama Tiara Yunanda Putri. Tiara lahir di Padang, tanggal 2 Maret 1990. Meski, anak tunggal, Tiara adalah sosok yang kuat dan tangguh. Banyak orang yang mengira, kehidupan anak tunggal pasti menyenangkan. Orang tua akan memanjakan mereka.
Sebenarnya, itu hanyalah kisah fiksi yang sering kita saksikan di layar kaca saja. Mamanya berprofesi sebagai PNS. Sedangkan, papanya adalah pengusaha barang antik, yang bisa dikatakan pengusaha cukup sukses pada waktu itu memiliki dua toko dan satu gudang di Bali serta satu gudang produksi di Muaratewe, Kalimantan.
Saat SD, Tiara diantar jemput oleh supir. Rumahnya juga cukup besar. Namun, orangtuanya mengajarkan tidak bersikap sombong. Dengan pendapatan papanya, Tiara bisa saja memiliki apapun yang dia mau.
Akan tetapi, papanya justru mendidik Tiara untuk memilih satu dan harus menunggu apa yang diinginkan.
“Misal, ketika aku menginginkan DVD atau liburan ke hotel, aku harus memilih. Papa bisa mewujudkan keduanya, tapi dia tidak mau begitu. Aku harus memilih,” kata Tiara kepada Barisanco beberapa waktu lalu.
Tiara menyebut, memilih adalah hal yang menyebalkan. Sejak memasuki SMP, Tiara diizinkan naik angkot untuk pergi ke sekolah. Pada saat itu, katanya, angkot tidak sebanyak sekarang dan supir angkot enggan mengangkut anak sekolah karena tarif ongkosnya yang murah.
“Jadi, kadang kalau pagi aku menumpang truk yang lewat. Banyak anak sekolah melakukan itu,” kenang Tiara sambil tertawa.
Sebagai anak tunggal, Tiara tidak merasa kesepian. Saat itu, rumahnya bersebelahan dengan tantenya yang memiliki empat anak perempuan. Salah satunya sebaya dengannya dan ada sepupu Tiara yang dirawat oleh mamanya di rumah.
Ujian Hidup Tiara Yunanda Putri
Waktu kelas 3 SMP, Tiara memasuki fase ujian hidup dan menerima kenyataan yang membuatnya dipaksa menjadi dewasa. Di masa remaja itu, Tiara dikhianati oleh cinta pertamanya, papanya sendiri yang ternyata menikah lagi dengan perempuan lain.
Kabar itu, dia dengar lewat panggilan telepon saat mamanya berkunjung ke Bali. Semesta mendukung, saat kabar itu disampaikan cuaca di luar rumah sedang badai. Masih jelas teringat, Tiara berlari ke kamar, menutup pintu dan menangis sejadi-jadinya. Pertama kalinya dalam hidupnya, Tiara mengambil keputusan sendiri untuk pergi ke Bali esok harinya dengan pesawat.
Setibanya di Bandara Ngurah Rai, Tiara dijemput oleh kedua orangtuanya. Wajah mamanya tampak suram seperti habis menangis, kenang Tiara. Papanya berusaha mencairkan suasana.
“Pertama kalinya dalam hidupku, aku menolak pelukan dari orang yang aku cintai itu,” terang Tiara.
Sejak saat itu perjalanan hidupnya tidak mudah. Tiara memutuskan untuk pindah ke Bali di SMK Soverdi Tuban karena termasuk sekolah unggulan di sana.
Di tengah permasalahan keluarga, Tiara menemukan konsep diri dari peristiwa tersebut. Dia cukup bisa mengendalikan diri. Sebagai remaja broken home pada umumnya, Tiara justru tidak mau merusak dirinya dengan pergaulan bebas.
“Hatiku, yang akhirnya sedikit lebih mengeras dari sebelumnya. Namun, masalah-masalah yang ada ku jadikan aktivitas positif saat itu seperti berenang, olahraga, jalan jalan bersama teman teman atau nonton film,” jelas Tiara.
Tibalah masa ketika orangtuanya meminta pertimbangan untuk permasalahan pernikahan mereka. Pada umur 16 tahun, Tiara dengan berani menyarankan, “Jangan bertahan daripada menyakiti banyak pihak.”
Namun, Tuhan berkata lain, tak lama setelah obrolannya itu, mendadak papanya berpulang. Sorenya, Tiara masih mengantar papanya ke bandara dan besok subuhnya, dia mendengar berita papanya berpulang.
“Kami terbang pagi itu ke kota Palangkaraya, dan aku menemuinya dalam keadaan kaku di balik peti mati. Tanpa pamit, beliau pergi tanpa menyelesaikan luka, dan aku telah siap memafkan,” jelasnya. [Yat]