DALAM riil sehari-hari, entah, apakah memang ada yang begini: seseorang tidak tahu dan tidak tahu bahwa dia tidak tahu.
Namun, Syekh Ibnu ‘Athaillah menuturkan, “Sempurnalah kebodohan seseorang yang menginginkan terjadinya sesuatu pada saat Allah tidak menghendakinya.” (Al-Hikam, no. 17).
Dengan vulgar sang syekh menyebut bahwa orang yang demikian sebagai kebodohan. Karena telah menunjukkan betapa ia tidak berlaku sopan kepada Tuhan, menghendaki sesuatu yang tidak dikehendaki-Nya.
Betapa dinamika di muka bumi ini ada masanya, dan orang yang menuntut sesuatu terjadi atau hendak dikerjakannya, padahal Allah belum menetapkan, atau belum menempatkannya di maqam-nya, sama saja dengan menyalahi hukum waktu. Padahal Allah pemilik sejati waktu, dan agama dihadirkan supaya kita bisa seturut waktu, sanggup menapaki dimensi proses.
Orang-orang yang demikian itu, yang menginginkan sesuatu terjadi pada saat Allah tidak menghendaki, sepertinya sama artinya orang yang tidak tahu dan tidak tahu bahwa dia tidak tahu. Ia tidak beretika, tidak tahu diri kepada Tuhan.
Syekh Ibnu ‘Athaillah melanjutkan, “Janganlah meminta kepada Allah untuk memindahkanmu pada kondisi yang lain. Sekiranya menghendaki yang demikian, niscaya Dia telah mempekerjakanmu di situ tanpa proses pemindahan.” (Al-Hikam, no. 19).
Nyatalah, kondisi apa pun yang kini kita alami, yakinlah, inilah kondisi yang terbaik yang dikehendaki Allah. Tiada yang pas untuk saat ini, kecuali memang keadaan diri kita saat ini. Maka, jangan remehkan keadaan yang sekarang. Jangan berpikir untuk berpindah haluan.
“Tuhanmu yang menciptakan sesuai dengan kehendak dan pilihan-Nya.” (Al-Qashash: 68). Dan, “Kamu tidak akan memperoleh keinginanmu, kecuali bila Allah menghendaki. Allah sungguh Maha Mengetahui dan Mahabijaksana.” (Al-Insan: 30).
Nah, kenapa kita gampang tebersit untuk berpindah maqam?
Karena angan-angan. Kira-kira begitu. Karena ada nafsu yang menginginkan yang lain. Tatkala kita masih membujang, berangan-angan pengin menikah. Tatkala miskin berangan-angan menjadi orang kaya. Tatkala tengah menetap di suatu daerah, berangan-angan bisa bepergian atau pindah tempat. Dan terus begitu, betapa angan-angan tidak akan pernah bosan membonceng kesadaran.
Sayyidina Ali, sebagaimana dikutib Syekh Ibnu Ajibah, berkata, “Di antara ciri seorang wali paripurna adalah dia tidak membutuhkan sesuatu pun selain apa yang telah ditetapkan oleh Tuhannya di waktu itu.”
Sebelumnya Syekh Ibnu ‘Athaillah mengingatkan, “Menunda beramal shalih guna menunggu saat leluasa adalah termasuk kebodohan diri.” (Al-Hikam, no. 18).
Untaian ini serasa menjadi kunci untuk menangkal kebodohan, atau guna membendung banjir bandang angan-angan yang acap menjebol nalar sehat.
Apalagi kalau kita rujuk kembali kepada sabda Nabi Saw., “Ingatlah, di antara ciri orang yang berakal adalah berpaling dari tempat yang penuh tipudaya dan beralih ke tempat kekekalan serta berbekal untuk hunian di alam kubur dan siap-siap untuk hari kebangkitan.”
Juga sabda Beliau Saw., “Orang pintar adalah orang yang menundukkan nafsunya dan beramal untuk kehidupan setelah mati. Sedangkan orang tolol adalah orang yang memperturutkan hawa nafsunya dan banyak berangan-angan.”
Jadi, kita bisa bertanya ulang, apa jaminannya kita akan sampai pada sekian waktu, sehingga berani-beraninya kita menangguhkan untuk beramal shalih. Yakinkah masih ada esok, sehingga hari ini kita tidak perlu serius-serius bermunajat kepada Allah, belum perlu menafakuri ciptaan Yang Mahabesar. Yakinkah?
Padahal, siapa manusia di muka bumi ini yang mengetahui benar rahasia waktu, selain Allah? Sampai Dia mengingatkan, “Demi masa. Sungguh manusia pasti akan rugi, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal shalih, serta saling berwasiat untuk berpegang teguh pada kebenaran dan berwasiat untuk berlaku sabar.” (Al- ‘Ashr: 1-3).
Maka tepat kiranya, sang syekh menyebut sebuah kebodohan jika sampai menunda beramal shalih. Karena lebih memilih kerugian daripada keberuntungan.
Jelas sudah. Lantas kita bisa memilah: bodoh yang sadar bodohnya, dan bodoh yang tidak sadar bodohnya. Yakni orang yang tidak tahu dan tahu bahwa dirinya tidak tahu. Sementara yang bodoh akut, tidak tahu dan tidak tahu bahwa dia tidak tahu.
Kiranya begitulah makna kebodohan. Guna melengkapi saya kutip hikmah 111, “Orang bodoh adalah yang ketika pagi hari memikir apa yang akan dia lakukan, dan orang pintar itu memikir apa yang akan dilakukan Allah Swt padanya.” [Luk]