Seminar dan Peluncuran Buku “Kehampaan Hak Rakyat di Hadapan Oligarki Menjelang Pemilu 2024” yang diselenggarakan Universitas Paramadina dan LP3ES
BARISAN.CO – Akademisi STH (Sekolah Tinggi Hukum) Indonesia, Jentera, Bvitri Susanti menyampaikan buku yang ditulis oleh Ward Barenschott dan Afrizal merupakan yang pertama kali membahas terkait masalah Kehampaan Hak rakyat atau warga negara atas lahan-lahan milik mereka yang dirampas perusahaan kelapa sawit.
“Para pegiat HAM dan keadilan hukum harus mampu memetakan masalah kehampaan hak agar bergerak lebih sistematis,” sambungya pada Seminar dan Peluncuran Buku dengan tema Kehampaan Hak Rakyat di Hadapkan Oligarki Menjelang Pemilu 2024, yang diselenggarakan Universitas Paramadina dan LP3ES, Kamis (13/07/2023).
Menurut Bvitri ada relasi kuasa yang tidak seimbang antara pemerintah kolonial dengan pribumi namun setelah kemerdekaan relasi buruk tersebut tidak pernah dibedah setelah kolonialisme pergi.
“Dan ternyata pemerintah Kolonial sekarang digantikan oleh oligarki. Jadi relasinya pada Reproduksi. Kalau dulu kolonialisme, sekarang adalah korporasi. Lalu di mana pemerintah? Mestinya dia memediasi relasi yang tidak seimbang tersebut,” ujarnya.
Ia menyampaikan aparat pemerintah hanya menjalankan fungsi-fungsi adminsitrasi belaka, dan tidak ada respek, penghormatan terhadap hak hak warga dan HAM. Karenanya, masalahnya terjadi reproduksi terhadap relasi yang tidak setara tersebut.
“Masalah besar pertanahan saat ini terjadi karena terkait dengan hukum kolonial. Rata-rata negara eks kolonial tidak membongkar hukum kolonial karena dia ternyata menguntungkan orang yang punya kekuasaan,” jelasnya.
Menurutnya tidak ada yang berubah setelah lebih 70 tahun merdeka. Yang berbeda, munculnya pemain baru yakni Civil Society.
“Civil society yang tidak hanya mengganggu oligarki tapi juga berupaya melaksanakn edukasi hukum kritis terhadap hak hak warga,” terangnya.
Ward Barenschott dari KITLV Leiden/Universitas Amsterdam menyampaikan 3 argumen pokok dari hasil penelitian meliput 150an kasus konflik perusahaan sawit dan rakyat, seperti ditulis di Buku yakni:
Pertama, Konflik muncul karena adanya kehampaan hak warga masyarakat. Kesulitan warga untuk mengimplementasikan hak hak warga.
Kedua, Dalam situasi itu warga cenderung memilih strategi berjuang yang disebut Strategi Perlawanan atas Kehampaan Hak. Warga lebih memilih kompensasi finansial ketimbang hukum dan perlawanan kehampaan hak.
Ketiga, Mekanisme resolusi konflik tidak efektif, karena umumnya dari 150 kasus yang diteliti, 68% kasus tidak terselesaikan.
Menurut Ward Barenschott, dari berbagai macam hak yang dimiliki warga, yang utama menjadi masalah adalah Realisasi hak hak tersebut.
“Itulah yang dimaksud dengan “Kehampaan hak”. Secara resmi memang ada hak, tetapi isinya kosong. Dalam protes-protes warga, sering terjadi kriminalisasi dan represi atau kekerasan,” jelasnya.
Sementara itu, akademisi Universitas Andalas, Prof Afrizal menyampaikan berbagai hal aksi menuntut hak telah dilakukan oleh warga, di depan Bupati, Perusahaan, dan pengadian negeri, pengadilan tinggi, juga kasasi di Mahkamah Agung yang memenangkan perusahaan.
Lalu warga melakukan Peninjauan Kembali (PK) sampai akhirnya MA memenangkan perkara tersebut dan perusahaan harus mengembalikan hak warga.
“Tapi ternyata keputusan MA tidak diindahkan oleh perusahaan. Dari 11 ribu hektar tanah hanya 5 hektar yang diserahkan kepada warga. Hampir tidak ada kompensasi atas kehilangan tanah dan penolakan penyerahan plasma kepada warga desa,” ujarnya.
Buku berjudul Kehampaan Hak; Masyarakat vs Perkebunan Sawit di Indonesia ini juga mengupas perkara di atas dan 150 kasus konflik lahan warga dengan perusahaan kelapa sawit lain di propinsi Riau, Kalimantan Barat, Sumatera Barat, dan Kalimantan Tengah.
“Buku ini ditulis karena masalah konflik kelapa sawit merupakan masalah besar dan mendesak diselesaikan. Tidak hanya untuk komunitas perdesaan tapi juga pemerintah dan perusahaan kelapa sawit,” pungkasnya. [Luk]