Tapi aku benar-benar kagum dengan temanku yang rambutnya ikal dan berpostur pendek itu. Dia adalah seorang yang tekun dan juga ulet. Dari hasil bertaninya dia mampu menguliahkan dua anaknya. Yang nomor satu sudah menjadi seorang guru dan sudah mau menikah. Sedangkan yang nomor dua masih kuliah di Surabaya. Luar biasa, pikirku. Dengan segala kesederhanaan yang ada di dalam dirinya, ternyata ada sesuatu yang sudah dicapai dalam hidupnya.
Hanafi kembali meneleponku. Seperti biasa, pada siang hari ketika aku sudah selesai makan dan masih menikmati jam istirahatku.
“Ada kabar penting yang kamu harus tahu.” Katanya. Aku terperangah. Wah, ada apa lagi ini, tanyaku dalam hati.
“Apa, ada yang mau menghubungiku lagi?” tebakku asal. Hanafi tertawa keras.
“Tebakanmu tepat! Kamu punya ilmu kebatinan ya? Atau mungkin trauma?”
“Siapa lagi?” tanyaku. Sejenak Hanafi terdiam. “Han, kok malah diam?”
“Tadi pagi Edy WA aku, kamu tahu dia bilang apa?” Hanafi kembali menghentikan ucapannya, tiba-tiba ada sesuatu yang tidak enak yang aku rasakan dalam hati. “Dia cerita katanya sedang menangani sebuah kasus di kantor kejaksaan. Proyek besar, katanya bernilai miliaran. Dan sekarang ini dia sedang berada di Jakarta untuk beberapa hari, sampai kasus yang dia tangani ada hasilnya. Dan…” kembali Hanafi menghentikan bicaranya. Memancing rasa penasaranku. Tapi dia segera melanjutkan ucapannya tanpa aku harus meminta. “Dia mau pinjam uang sebesar sepuluh juta, katanya untuk operasional sehari-hari. Nanti kalau kasusnya sudah selesai akan dikembalikan. Aku jawab tidak punya, lalu dia menurunkan nominalnya jadi lima juta, aku tetap bilang tidak ada, dan dia kembali menurunkan jadi tiga juta. Aku tetap bilang tidak ada. Bahkan akhirnya dia hanya minta satu juta. Aku juga tetap bilang tak punya, karena aku merasa ada yang tidak beres.”
“Edaaaan.” Teriakku.
“He, jangan edan dulu! Soalnya menurut penerawanganku, sepertinya beliau akan menghubungimu juga.” Kata Hanafi sambil tertawa.
“Ah, kalau ini aku sudah siap Han. Beda dengan si Weni, kalau dia mungkin memang benar-benar membutuhkan. Tapi kalau Edy, sepertinya modus. Dan ini akan lebih gampang menghadapinya, karena tidak ada rasa kemanusiaan yang harus bicara. Atau kalau perlu, tak usah ditanggapi. Biarkan saja, selesai urusannya.”
“Betul. Aku setuju. Oleh karena itu aku info ke kamu supaya kamu menemukan cara yang jitu untuk menghadapinya.”
Setelah Hanafi menutup telepon, aku terdiam untuk sesaat. Kembali aku membayangkan bagaimana sikap dan gaya si Edy yang menurutku amat sangat jauh berbeda dengan ketika masih sekolah dulu. Ah, mungkin waktu yang sudah puluhan tahun itu punya cara sendiri dalam membentuk karakter seseorang.