Scroll untuk baca artikel
Blog

Kehebohan Setelah Reuni – Cerpen Sapto Wardoyo

Redaksi
×

Kehebohan Setelah Reuni – Cerpen Sapto Wardoyo

Sebarkan artikel ini

“Waduh, ada lagi?” tanyaku dengan penuh rasa heran. Hanafi tertawa. “Tentang apa?”

“Edy!”

“Ada apa lagi dengan dia?”

“Tenangkan hatimu ya. Beberapa waktu lalu Bambang ketemu dengan temannya yang kebetulan adalah tetangganya Edy. Jadi penampilan dia sewaktu reuni itu hanya kedok semata.” Aku tercengang, tapi masih mampu untuk menahan agar tak memotong ucapan Hanafi. Jadi aku biarkan Hanafi untuk menyelesaikan kata-katanya. “Masalah mobil yang dia bawa beserta sopirnya itu hanya gaya semata. Dia tak mempunyai mobil, mungkin mobil itu mobil sewaan yang dia sewa beserta sopirnya. Dia ingin kelihatan wah di mata kita semua. Atau semua itu hanya alat supaya dia bisa lebih lancar menjalankan modusnya, aku juga tidak tahu. Dan ini klimaksnya, kamu tahu Tono kan?” tanya Hanafi.

“Ya, aku tahu dan ingat. Waktu reuni beberapa waktu yang lalu juga sempat mengobrol dengannya.”

“Dia lagi stres sekarang. Karena uangnya di bawa oleh Edy sebesar dua puluh lima juta rupiah. Dan sekarang Edy tak bisa lagi di hubungi.”

Oh my God….” jeritku tertahan. “Kok Tono bisa kena ya Han? Bagaimana ceritanya?”

“Tak tahulah. Mungkin Tono terkecoh dengan penampilan si Edy dan dia juga termakan dengan segala omongannya seperti yang pernah dikatakan pada kita. Mungkin juga Tono  terlalu polos, jadi dia nggak curiga sama sekali. Ah, penampilan luar itu ternyata bukan jaminan.”

Setelah kami menyelesaikan pembicaraan, aku masih duduk termangu, pikiranku tak henti-hentinya merenungkan semua kejadian ini. Selama puluhan tahun kami tak pernah bertemu, namun setelah bertemu bukannya pertemanan atau rasa persaudaraan itu di jaga, tapi justru ada yang menodainya dengan hal-hal yang tak semestinya.

Beberapa wajah teman-temanku SMA datang menyambangi anganku. Aku ingat si Weni. Apa kira-kira yang diinginkan si Weni? Mungkin keinginan terbesarnya adalah mencukupi kebutuhan anak-anaknya serta membahagiakan mereka. Dan itu adalah hal yang wajar. Lalu Manto. Yang meringkuk tak berdaya di atas kursi roda. Wajahnya yang muram, matanya yang tanpa cahaya dan kegairahan hidup, kira-kira apa yang diinginkan oleh Manto? Barangkali keinginan terbesarnya adalah sembuh dari sakitnya, dan bisa kembali bangkit  dan  kembali bisa berjuang untuk keluarganya. Lagi-lagi ini adalah  hal yang wajar.

Lalu si Edy. Ah, barangkali dia terlalu banyak keinginan dalam hidupnya. Hingga apa yang telah didapatnya tak pernah cukup untuk memenuhi segala keinginan itu. Dia telah menyediakan wadah yang terlalu besar untuk apa yang telah didapatnya, yaitu dengan keinginannya dan bukan dengan kebutuhannya. Hingga akhirnya mencari segala cara supaya wadah yang berupa keinginan itu bisa diisi dengan penuh.