JANGAN sampai kita kehilangan inti hidup. Apa pun karunia yang kita miliki, harus dalam proses demi ibadah kepada-Nya. Itulah pesan Ustaz Riyadh Ahmad dalam kajian Kitab Unwanul Hikam yang beliau ampu.
Sungguh, anugerah tiada tara dalam hidup saya, bertemu atau lebih tepatnya bisa ikut menyimak kajian, baik luring maupun daring, terkhusus mengenai Kitab Unwanul Hikam yang diampu ustaz muda ini.
Beliaulah Ustaz Riyadh Ahmad, Pengasuh Pondok Pesantren Doaqu di Gunungpati, Semarang. Penyampaiannya renyah dan gampang dipahami. Beliau kerap menyelipkan banyak unsur guyonan cerdas yang menyegarkan suasana.
Saya dan, saya yakin, audiens yang lain pun betah mengikuti setiap wejangan yang beliau perdengarkan. Nah, beliau menyampaikan materi kajian Kitab Unwanul Hikam yang dianggit oleh Syekh Abul Fath Al-Busti, wafat 400 H/1010 M.
Kitab Unwanul Hikam ini sendiri, sebagai pokok-pokok hikmah, tak jauh beda dengan kitab Al-Hikam yang ditulis oleh Syekh Ibnu Athaillah. Bedanya, kitab Unwanul Hikam ini lebih tua dan hanya terdiri dari 63 bait syair. Sementara kitab Al-Hikam dari Syekh Ibnu Athaillah baru sekitar tiga atau empat abad kemudian dengan jumlah kalam yang lebih banyak.
Dalam forum kajian di Pondok Doaqu, juga di forum-forum yang lain yang saya tahu, Ustaz Riyadh Ahmad menunjukkan betapa dalam makna dari bait-bait syair Syekh Abul Fath Al-Busti ini. Dan serasa oase, mengingat kitab ini jarang yang mengetengahkan ke khalayak. Berbeda dengan kitab Al-Hikam, hampir setiap pesantren, atau kota, atau majelis-majelis kecil, membabar syarah Al-Hikam Syekh Ibnu Athaillah.
Kitab Unwanul Hikam pun kiranya dapat dirujuk sebagai kitab tasawuf klasik yang menjadi peta penunjuk arah bagi penempuh jalan hidup tasawuf.
Tersebut dalam bait pertama, “Bertambahnya kekayaan duniawi bagi seseorang merupakan kekurangan, sedangkan keuntungan duniawi yang tak mutlak kebaikannya adalah kerugian (di akhirat).”
Dengan merujuk kalam tersebut, Ustaz Riyadh bertanya kepada audiens, “bertambah tapi kok malah berarti kekurangan, apa maksudnya?”
Audiens terdiam. “Ya, mirip seperti umur.” jelas sang ustaz. “Oleh Allah kita dijatah sampai 60 tahun, misalnya, dan kini kita sudah 32 tahun, berarti saat berulang tahun usia ke-33 tahun, sama artinya jatah usia kita di dunia berkurang. Demikian pula dengan harta kekayaan. Jadi, secara zahir bertambah, tapi secara hakiki berkurang.”
Ustaz Riyadh menyambung, “Dan tatkala jatah uang itu turun, tapi tidak kita gunakan sebagai sarana ibadah, maka sungguh merugilah kita. Apalagi jika memang cara mendapatkan dan mengalokasikannya tidak bernuansa ibadah, jelas akan lebih celaka lagi. Sebab inti kita di muka bumi ini adalah untuk ibadah.”
Allah Swt. jelas-jelas menghadirkan kita agar beribadah. “Aku tidak menciptakan jin dan manusia, kecuali agar mereka mengabdi kepada-Ku.” (Adz-Dzariyat: 56).
Artinya, segala jatah yang dikaruniakan pada kita, tidak lain merupakan sarana beribadah. Seperti halnya jatah uang, jatah umur, jatah pengetahuan, dan lain sebagainya, itu sedianya menjadi bekal ibadah kepada Allah. Jangan sampai kita kehilangan inti hidup, yakni ibadah, dalam mengelola cara dan tujuan akan sumber daya yang dijatahkan.
Sekira kita tidak bertindak curang dalam memperoleh rezeki, tapi yang kita peroleh tidak untuk bekal ibadah, itu saja konyol. Apalagi kita berlaku curang dalam mengejar harta.
Sungguh, betapa meruginya kita. Sebab jatah rezeki yang dikaruniakan sudah pasti ada, tidak akan meleset. Namun, dalam menjemput jatah tersebut, malahan kita upayakan dengan melebihkan timbangan, dengan berbohong, atau korupsi, benar-benar konyol kita.
Ustaz Riyadh menuturkan, datanglah seseorang kepada Imam Syafi’i. Orang tersebut mengeluhkan rezekinya yang tidak hanya dirasa masih kurang, tapi memang benar-benar kurang.
“Wahai Guru, rezeki saya ini tidak pernah cukup. Kurang melulu.”
“Selama ini gaji yang engkau dapatkan berapa?”
“Tiga dinar, Guru.”
“Baiklah. Mulai besok, bilang pada majikanmu untuk digaji dua dinar saja.”
Pulanglah orang itu. Ia mengamalkan perintah sang imam. Sekian waktu kemudian, orang tersebut datang lagi dan mengadukan hal yang sama. Sang guru pun kembali memintanya untuk memohon pada majikan agar menggajinya satu dinar. Dan orang tersebut, sembari tak mengerti maksud sang guru, tetap menunaikannya.
Sungguh kehendak Tuhan, dengan gaji yang hanya satu dinar justru cukup untuk memenuhi kebutuhannya. Datanglah ia kepada sang imam, bukan untuk mengadukan kekurangan, melainkan bertanya heran, kok bisa demikian. Bahwa yang tiga dan dua dinar saja serasa tak mencukupi, tetapi yang hanya satu dinar malah bisa mencukupi kebutuhan hidup.
Imam Syafi’i buka tabir rahasia dengan menganalogkan air minum dalam sebuah gelas. Adalah gelas berisi air yang jernih, yang sekiranya siap diminum, tetiba kemasukan kotoran cecak. Pastinya air itu tidak jernih lagi, dan mustahil tega meminumnya. Lantas dibuanglah semua air dalam gelas itu. Demikian pula harta rezeki jika tercampur harta haram, harta itu pun kotor semua. Meski tampak berlimpah, tapi tak pernah mencukupi.
Ustaz Riyadh menyebutnya sebagai ampas rezeki. Yakni harta yang muspra, tidak berguna lantaran tercampur dengan hal-hal haram.
Berbeda sekiranya, seolah harta yang kita miliki sedikit, tetapi steril dari cara-cara curang dalam memperolehnya, niscaya berkah dan mencukupi kebutuhan hidup. Bahkan benar-benar akan semakin memberkahi jika digunakan sebagai bekal ibadah.
Walhasil, jangan kehilangan ibadah dalam mengoperasikan setiap karunia. Sebab ibadah merupakan inti kita berada di muka bumi.
Begitulah. [Luk]