Oleh: Awalil Rizky, Ekonom Bright Instutute
KETIMPANGAN ekonomi merupakan konsep tentang ketidaksetaraan antar penduduk atau kelompok penduduk. Data yang biasa dipakai untuk mengukur kondisinya berupa pengeluaran, pendapatan, atau kekayaan. Rasio gini sendiri merupakan perhitungan matematis atas distribusi data pada suatu waktu dari salah satu jenis data tersebut.
Rasio gini yang biasa dipakai dalam narasi kebijakan resmi Pemerintah Indonesia merupakan rasio berdasar data pengeluaran. Badan Pusat Statistik (BPS) menghitung dan memublikasinya tiap enam bulan untuk kondisi Maret dan September.
Nilai rasio gini berkisar antara 0 (nol) dan 1 (satu). Makin tinggi atau mendekati 1 mengindikasikan tingkat ketimpangan yang makin tinggi. Suatu negara dinilai memiliki ketimpangan tinggi bila rasio gininya di kisaran 0,5-0,7, dan relatif tidak timpang jika berada pada kisaran 0,20-0,35 (Todaro, 2012).
Berdasarkan standar itu, ketimpangan Indonesia pada Maret 2022 yang sebesar 0,388 tergolong ketimpangan sedang. Bisa dikatakan tidak terlalu timpang, namun belum bisa dikatakan sudah baik.
Sebelum pandemi, gini rasio sempat cenderung turun perlahan selama beberapa tahun. Dari sebesar 0,414 pada September 2014 hingga mencapai yang terendah pada September 2019 sebesar 0,380.
Dampak pandemi, membuatnya kembali meningkat. Masih meningkat ketika pemulihan ekonomi diklaim telah terjadi pada tahun 2022 dan 2023.
Ketika rasio mengalami penurunan sebenarnya juga belum berhasil mencapai tingkat era 1996-2010. Rasio gini Indonesia termasuk dalam ukuran rendah atau kurang dari 0,35 selama periode 1999-2005. Bahkan, gini rasio hanya sebesar 0,311 pada tahun 1999.
Sifat data kekayaan berbeda dengan pendapatan atau pengeluaran. Pendapatan atau pengeluaran bersifat arus (flow) selama kurun waktu tertentu, misalnya satu tahun. Sedangkan kekayaan bersifat sediaan (stock) pada tanggal tertentu, misalnya pada tanggal 31 Desember 2021 atau akhir tahun.
Rasio gini dari data distribusi kekayaan penduduk dewasa Indonesia yang dihitung oleh Credit Suisse mencapai 0,782 pada tahun 2021. Dengan kata lain, jauh lebih tinggi dibanding rasio gini BPS yang berdasar data pengeluaran.
Kekayaan dimaksud mencakup aset finansial dan aset nonfinansial, seperti tanah, rumah, mobil, dan lainnya. Data Credit Suisse dilaporkan diolah dari data resmi, data perbankan, data pasar modal, serta investigasi. Termasuk wawancara kepada beberapa pihak, terutama yang memiliki kakayaan sangat besar dari berbagai negara.
Kondisi umum ketimpangan kekayaan dari data Credit Suisse dicerminkan pula oleh rata-rata (mean) kekayaan penduduk dewasa Indonesia yang mencapai US$18.534 pada tahun 2021. Padahal titik tengah (median) nilai kekayaan di posisi tengah jika diurutkan dari 183.735 orang penduduk dewasa itu hanya US$5.030. Dengan kata lain, sangat banyak yang kekayaannya di bawah rata-rata.

Ketimpangan kekayaan diindikasikan pula oleh data Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) tentang simpanan masyarakat di bank umum yang dikenal dengan istilah Dana Pihak Ketiga (DPK). Salah satu rincian publikasi LPS berupa pengelompokan DPK menurut kelompok atau tiering nilai nominalnya.
Nilai DPK kelompok teratas (lebih dari Rp5 Miliar) mencapai Rp4.172 Triliun atau 52,31% dari total Rp7.975 Triliun per akhir Mei 2023. Terdiri dari hanya 127.380 rekening, sehingga rata-ratanya mencapai Rp32,75 Miliar.
Nilai DPK melonjak lebih dari dua kali lipat dari posisi Oktober 2014 (pelantikan Presiden Jokowi) yang sebesar Rp1.823,77 Triliun. Sedangkan dalam hal rata-rata terjadi kenaikan dari Rp25,10 Miliar.
Sementara itu nilai DPK kelompok terbawah (kurang dari sampai dengan Rp100 Juta) hanya sebesar Rp1.000,7 Trilun atau 12,40% dari total per akhir Mei 2023. Jumlah rekeningnya sangat banyak, mencapai 509,94 juta rekening. Rata-rata nilai per rekening hanya sebesar Rp1,97 Juta.
Nilai totalnya memang mengalami kenaikan dari Oktober 2014 yang sebesar Rp599,10 Triliun. Namun, rata-rata per rekening justeru turun dari Rp3,83 Juta.
Berdasar uraian dan data-data di atas bisa dikatakan bahwa ketimpangan ekonomi antar penduduk di Indonesia memburuk selama era pandemi. Belum bisa membaik saat terjadi pemulihan setahun ini. Bahkan, kondisi saat ini lebih buruk dibanding awal era reformasi. [rif]