HUJAN lama tidak turun. Kemarau berkepanjangan. Panas sedemikian menyengat, dan di sana sini tampak kering kerontang.
Lantas ada banyak pandangan soal ini. Seperti bahwa itu adalah pengaruh dari efek rumah kaca. Akibat krisis iklim. Bahwa itu adalah pengaruh gelombang panas yang mengganggu kestabilan alam dan keseimbangan musim.
Namun, Syekh Ibnu Athaillah dalam Kitab Al-Hikam punya pandang khas atas persoalan tersebut. Dan saya demen dengan cara berpikir Al-Hikam bahwa Tuhan yang mengatur alam semesta ini, yang melakukan sesuai yang Dia kehendaki.
Segala peristiwa dan yang ada di alam semesta tidak lebih sebagai pelayanan yang melaksanakan perintah-perintah Tuhan. Entah akan hujan atau tidak, suka-suka Tuhan untuk menggerakkan.
Jika kita mengamati berbagai benda-benda yang bergerak, seperti sepoi angin, daun yang rontok, dan sebagainya, secara lahir seakan-akan yang menggerakan alam semesta itu sendiri. Padahal, dalam cara berpikir Al-Hikam, yang menggerakkan semua ini adalah Allah semata.
Gerak, berfungsi, dan berjalannya alam semesta ini bergantung kepada Tuhan yang menciptakan, kemudian menatanya dan mengendalikannya.
Di sini, saya mengikuti cara berpikir Al-Hikam, bukan cara berpikir aktivis lingkungan, bahwa semuanya harus dikembalikan kepada Allah. Allah-lah yang mengirimkan masalah dan musibah, dan Dialah pula yang mampu menyingkirkannya.
Kembali kepada Allah artinya menggantungkan harapan-harapan hanya kepada-Nya. Bahwa sarana dan peristiwa yang ada di semesta ini sebanyak apa pun, semuanya tidak berdiri sendiri. Semuanya tidak memiliki pengaruh dan kuasa apa pun. Semuanya dalam kuasa Allah.
Bahwa segala yang terpampang, jelas lantaran kekuasaan Allah. Dalam diam dan geraknya semesta, tiada lain adalah kehendak dan kekuasaan Allah. Bahwa tegaknya alam semesta adalah karena ketetapan dan perintah Allah.
Dengan ketetapan Allah-lah semesta ini mewujud. Dengan ketetapan dari Allah-lah, alam semesta ini aktif dan berfungsi. Tersebut dalam kitab suci, “…Ingatlah, segala penciptaan dan urusan menjadi hak-Nya. Mahasuci Allah, Tuhan seluruh alam.” (Al-A’raf: 54).
Sehingga nyata, Allah-lah yang mengatur seluruh alam semesta, tidak ada yang selain-Nya. Maka, jangan sampai kita memalingkan harapan-harapan dan keinginan-keinginan, kecuali hanya kepada Allah. Jangan sampai, sebagai hamba, kita malahan lari dari-Nya dan mencari selain-Nya, sebab selain-Nya pasti sama-sama lemah dan sama-sama hamba-Nya.
“Allah menetapkan langit dan bumi untuk tidak bergeser dari orbitnya; kalau sedikit saja bergeser tak ada yang mampu mengembalikan selain Allah.” (Fathir: 41).
Jelaslah, alam semesta dengan seluruh apa pun di dalamnya, baik gerakan, gelombang, besar ataupun kecil, yang tampak maupun tersembunyi, ada dalam kehendak dan kuasa Allah. Bahwa Allah memberikan keberlangsungan alam semesta, sesaat demi sesaat.
Dengan demikian, jangan sampai kita berharap kebaikan kepada selain Allah, dan jangan sampai takut ketidakbaikan, kecuali dari-Nya. Oleh karenanya, hanya kepada Allah kita bertawakal dan hanya akan memohon pertolongan kepada-Nya.
Segala sesuatu yang ada di sekeliling ini, tak sepatutnya membikin kita berpaling dari Allah. Memang panas matahari sedemikian terik hari-hari ini, tapi yakin ini perbuatan Tuhan, dan jangan sampai segala yang tampak dan terasa tak menyenangkan tersebut justru menghalangi kesadaran akan Allah.
Bahwa segala sesuatu itu menjadi sarana mengingat-Nya. Bahwa sedianya kita bisa hidup dengan sifat-sifat-Nya dan berbagai fenomena kekuasaan-Nya yang tampak di alam semesta.
Gelombang panas, krisis air, dan segala sesuatu itu ada sesaat demi sesaat karena Allah. Mereka tidak memiliki daya dan upaya dari diri sendiri, tidak bisa memberikan manfaat dan bahaya dari diri mereka sendiri.
Pendeknya, hanya lantaran kehendak dan kuasa Allah-lah segala peristiwa dan fenomena terjadi. Dan mereka semua itu melantunkan lantunan la hawla wa la quwwata illa billah. Hanya sayang, justru kita, manusia, yang kerap menyepelekan lantunan bahwa tidak ada daya dan upaya kecuali dari Allah.
Syekh Ibnu Athaillah mengingat kita akan hal itu. Kitab Al-Hikam berisi ajakan bahwa tatkala kita menghadapi suatu masalah, terlebih dahulu mencari sumber kebutuhan, sumber masalah. Siapa yang memberikan kita kebutuhan? Siapa yang memberikan kita masalah dan cobaan? Dan jawabnya adalah Allah. Lantas menghadap dan memohonlah kepada-Nya.
Sehingga, Kitab Al-Hikam itu berpijak pada argumen yang logis. Bahwa yang mendatangkan cobaan, apa pun itu, baik maupun buruk, maka Dialah pula yang sanggup menyingkirkannya. Dialah yang memiliki kekuatan untuk memberikan cobaan dan menolak cobaan. Dialah yang memiliki kekuatan untuk memberi dan menolak.
Maka, Al-Hikam itu bisa kita jadikan pegangan, lantaran memuat alasan logis, selaras dengan kebutuhan akal kita. Sungguh, Al-Hikam merupakan kitab yang cukup logis. [Luk]