Dan malam itu, musik menjadi senjata yang paling halus sekaligus paling tajam. Ia menembus nadi, menyalakan ingatan, menumbuhkan keberanian.
Kaukab, Sukatani, Majelis Lidah Berduri, Mahranazih, Ijonk, dan Women in Bloom semuanya menyatu dalam satu barisan: musik sebagai perlawanan, panggung sebagai mimbar, dan penonton sebagai saksi.
Semarang berapi. September mengingat darah. Tetapi dari bara itu lahirlah harapan: bahwa kekuatan yang dikumpulkan malam itu tak berhenti di Auditorium UNDIP, melainkan bergaung hingga ke lorong-lorong negeri. []









