Selain itu, kewajiban jangka panjang seperti program pensiun juga menekan keuangan negara, dengan total kewajiban mencapai Rp3.120 triliun pada 2023.
Di tengah kondisi itu, muncul pula kebijakan lain yang dianggap boros, seperti program Makan Bergizi Gratis (MBG) dan berbagai proyek politis berbiaya tinggi seperti Koperasi Merah Putih atau program sekolah rakyat.
Kebijakan ini justru berpotensi memiliki return on investment rendah, namun membebani fiskal dalam jangka panjang.
Jika ditelaah, hampir semua program dalam paket ekonomi 2025 bersifat stimulus jangka pendek. Misalnya, bantuan pangan berupa 10 kilogram beras selama dua bulan mungkin bisa meringankan beban keluarga miskin, tetapi tidak menyelesaikan persoalan kemiskinan struktural.
Demikian pula dengan subsidi iuran BPJS untuk pekerja informal, yang sifatnya sementara dan tidak mengubah kualitas pekerjaan itu sendiri.
Program padat karya tunai memang membuka lapangan kerja cepat, namun sifatnya temporer, hanya berlangsung September–Desember 2025.
Begitu proyek selesai, para pekerja kembali menganggur. Bahkan program deregulasi yang dicanangkan dalam PP 28/2025 bisa menimbulkan masalah baru jika dilakukan terburu-buru tanpa koordinasi lintas sektor yang matang.
Tantangan Bagi Menteri Keuangan Baru
Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa memikul tanggung jawab berat. Sebagai otoritas fiskal, ia memang memiliki kewenangan untuk mengatur penerimaan, pajak, dan pembiayaan utang.
Namun, banyak faktor ekonomi berada di luar kendalinya, seperti kebijakan moneter (BI, OJK), peran DPR, dan program-program kementerian teknis.
Tax ratio Indonesia masih rendah karena struktur ketenagakerjaan didominasi sektor informal dan pertanian.
Pada saat yang sama, pengeluaran negara harus diarahkan tidak hanya pada stimulus populis, melainkan pada alokasi yang benar-benar produktif.
Jika tidak, APBN akan terus mengalami defisit, sementara utang terus menumpuk dengan risiko bunga dan refinancing yang semakin berat.
Selain itu, praktik korupsi yang masih meluas, ditambah indeks ICOR (Incremental Capital Output Ratio) yang tinggi, membuat setiap rupiah yang dibelanjakan pemerintah menghasilkan return yang rendah. Ini berarti efektivitas belanja negara rendah, sementara beban fiskal terus menumpuk.
Meski penuh kritik, masih ada harapan jika pemerintah benar-benar serius melakukan reformasi fiskal. Pertama, dengan berani mengevaluasi program-program politis yang tidak produktif.
Kedua, memperkuat koordinasi antara otoritas fiskal dan moneter agar kebijakan sejalan.









