Dapat skor 28,5, kualitas air di Indonesia berada di urutan ke-9 di ASEAN.
BARISAN.CO – Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ke-43 ASEAN baru saja berakhir. Acara yang berlangsung selama tiga hari berturut-turut pada 5-7 September 2023 ini berjalan dengan sukses. Sebagai tuan rumah, Indonesia dipuji karena berhasil menyelenggarakan acaranya.
Namun, ada satu hal yang terlupakan yakni soal kualitas air. Mengutip World Population Review, Indonesia yang berada di urutan ke-9 di ASEAN dan 125 dari 179 negara di dunia dengan skor 28,5 menurut Enviromental Perfomance Index (EPI). Sementara, Presiden Joko Widodo di hari terakhir KTT ASEAN memberikan tongkat keketuaan ASEAN ke-44 pada tahun 2024 kepada Laos melalui Perdana Menteri Sonexay Siphandone.
Menariknya, kualitas air di Laos juga buruk. Laos berada di posisi ke-10 di ASEAN dan 131 dari 179 negara di dunia dengan skor 26,6. Artinya, kualitas air baik itu Indonesia maupun tuan rumah KTT ASEAN sama-sama buruk.
Tidak boleh memandang remeh kualitas air. Kurangnya akses terhadap air bersih dan aman merupakan salah satu faktor risiko terbesar penyebaran penyakit menular. Misalnya polio, tipus, kolera, disentri, hepatitis, dan diare. Tidak tersedianya air minum memperburuk dan memperparah malnutrisi, khususnya pada anak-anak.
Global Burden of Disease, sebuah jurnal medis sedunia yang mempelajari faktor risiko kematian dan penyakit, melaporkan, lebih dari 1,2 juta orang meninggal sebelum waktunya pada tahun 2017. Ini akibat langsung dari sumber air yang tidak aman.
Di negara-negara belum berkembang, perjalanan untuk mendapatkan air sangatlah sulit. Seringkali, tanggung jawab jatuh pada perempuan dan anak perempuan untuk mengambil air untuk keluarga dan desa mereka. Menurut statistik PBB, rata-rata perempuan di Afrika dan Asia menempuh jarak untuk mendapatkan air adalah enam kilometer.
Selain itu, di wilayah pedesaan dan Sub-Sahara Afrika, jutaan manusia terpaksa berbagi sumber air dengan hewan. Jutaan orang lainnya masih bergantung pada sumber air sumur yang tidak diolah dan diketahui mengandung kontaminan dan dapat membiakkan patogen berbahaya.
Perairan yang sehat mendukung perekonomian. Pertanian membutuhkan pasokan air bersih segar yang konstan untuk hewan, tanaman, untuk produk susu dan pengolahan makanan lainnya. Demikian pula, kita membutuhkan air yang aman dan terjamin untuk memasok industri dan kebutuhan air minum kita.
Studi Oxfam terbaru telah memperingatkan, pemanasan global meningkatkan frekuensi dan tingkat keparahan bencana termasuk banjir dan kekeringan yang akan semakin sering melanda negara-negara dunia di tahun-tahun mendatang.
“Kurangnya investasi dalam memperkuat sistem air membuat banyak negara rentan terhadap bencana,” kata Nafkote Dabi, Pemimpin Keadilan Iklim Global Oxfam.
Studi itu mengungkapkan, negara-negara Asia akan lebih terkena dampak kenaikan permukaan air laut yang berpotensi mencapai lebih dari setengah meter pada 2100. Studi itu juga menyebut akan lebih banyak gelombang panas di Asia (8 persen) dan penurunan produktivitas tenaga kerja sebesar 7 persen yang berakibat pada lebih banyak kemiskinan dan migrasi. Bahkan, penyakit seperti malaria dan demam berdarah bisa meningkat sebanyak 183 persen.
Semuanya ini akan berdampak bagi sumber pangan dan produktivitas masyarakat sehingga memicu kelaparan. Saat pejabat negara tertawa di atas singgasana kekuasaan, sudahkah mereka memikirkan nasib buruk rakyat yang sewaktu-waktu bisa terjadi?
Jika saat ini akses air bersih masih sulit ditemui, bagaimana nasib rakyat Indonesia ke depannya dengan bencana perubahan iklim ke depan? [Yat]