PERTUMBUHAN ekonomi era Jokowi dianggap cukup tinggi oleh beberapa pihak, terutama Pemerintah. Bahkan, laju pertumbuhan ekonomi tahun 2022 sebesar 5,31% diglorifikasi sebagai prestasi kerja. Padahal, rata-rata pertumbuhan era Jokowi lebih rendah dibanding era SBY dan era Soeharto. Selain itu, kualitas pertumbuhan ekonomi era Jokowi terbilang kurang baik atau rendah.
Kualitas pertumbuhan ekonomi dapat dianalisis dengan beberapa cara. Pertama, dari rincian laju pertumbuhan lapangan usaha atau sektor, bahkan subsektor. Kedua, dari rincian komponen sisi pengeluaran. Ketiga, dampak pertumbuhan ekonomi terhadap tingkat pengangguran dan tingkat kemiskinan.
Sektor Pertanian dan Industri Pengolahan Tumbuh Melambat
Badan Pusat Statistik (BPS) saat ini menyediakan data 17 sektor, yang dirinci menjadi 53 subsektor. Rincian tersebut penting dicermati karena besaran pertumbuhan bersifat agregat dan rata-rata.
Secara rata-rata pertumbuhan ekonomi pada era tahun 2015-2022 mencapai 4,01% per tahun. Seluruh sektor memang cenderung mengalami pertumbuhan. Akan tetapi, pertumbuhan yang lebih tinggi dari rata-rata justeru tidak dialami sektor yang menjadi fundamen perekonomian nasional.
Fundamental dimaksud terutama yang berporsi terbesar dalam PDB, menyerap banyak tenaga kerja, menjadi tumpuan kinerja sektor lain, serta menjamin keberlanjutan pertumnbuhan ekonomi. Sektor tersebut adalah sektor pertanian dan industri pengolahan.
Sektor Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan yang berporsi terbesar kedua hanya tumbuh sebesar 2,25% pada tahun 2022. Padahal, pertumbuhannya telah rendah pada tahun 2020 dan 2021, yakni sebesar 1,77% dan 1,87%. Lajunya memang sempat lebih tinggi dibanding pertumbuhan ekonomi keseluruhan pada tahun 2020, namun menjadi jauh lebih rendah pada tahun 2021 dan 2022.
Rata-rata pertumbuhan sektor pertanian tahun 2015-2022 hanya mencapai 3,05%. Lebih rendah dibanding pertumbuhan ekonomi dan dibanding era sebelumnya. Sebagai contoh, era tahun 2005-2014 rata-rata pertumbuhan mencapai 3,83%.
Sektor Tanaman Pangan sebagai subsektor lapangan usaha pertanian yang utama hanya tumbuh 0,08% pada tahun 2022. Secara rata-rata pada tahun 2015-2022 tumbuh sebesar 1,38%. Jauh lebih rendah dibanding pertumbuhan sektor pertanian keseluruhan dan pertumbuhan ekonomi.
Porsi tanaman pangan dalam keseluruhan sektor pertanian hanya sebesar 18,71% pada tahun 2022. Porsinya telah cenderung menurun sejak tahun 2017. Pada era sebelumnya, porsi di kisaran 25-26%.
Padahal aspek ketahanan dan kemandirian pangan diakui sebagai hal penting bahkan amat vital bagi Indonesia yang memiliki penduduk sangat banyak. Dokumen resmi Pemerintah maupun pidato dari pejabat negara berulang kali mengedepankan topik tersebut. Namun, perkembangan realita justeru makin tidak menggembirakan.

Pertumbuhan sektor industri pengolahan tumbuh sebesar 4,89% pada tahun 2022 atau di bawah laju pertumbuhan ekonomi. Sektor Industri pengolahan selalu tumbuh lebih rendah dari pertumbuhan ekonomi sejak tahun 2012. Secara rata-rata pada tahun 2015-2022 hanya tumbuh sebesar 3,29%.
Sektor ini memang masih memiliki porsi terbesar dalam keseluruhan Produk Domestik Bruto (PDB, mencapai 18,34% pada tahun 2022. Akan tetapi, porsinya cenderung terus menurun. Bahkan, masih tercatat sebesar 21,08% pada tahun 2014.
Porsi industri pengolahan dalam PDB sempat cenderung meningkat pada era Soeharto, dari 8,89% pada tahun 1975 hingga mencapai 29,06% pada tahun 2000. Fenomena setelahnya mengindikasikan terus berlangsungnya deindustrialisasi prematur. Peran sektor industri pengolahan menurun sebelum waktunya.
Peran sektor Pertambangan dan Penggalian yang justeru kembali meningkat. Pertumbuhan sebesar 4,38% pada tahun 2022 jauh melampaui rata-rata sebelum pandemi tahun 2011-2019 yang hanya sebesar 1,31%. Porsinya dalam struktur ekonomi pun melesat menjadi 12,22%. Hal ini bukan petanda baik bagi fundamental ekonomi dan transformasi perekonomian Indonesia.
Risiko Tidak Berkelanjutan dalam Komponen Pengeluaran
Pertumbuhan ekonomi tahun 2022 yang dirinci menurut komponen pengeluaran juga memberi indikasi kurang berkualitasnya. Komponen Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) atau yang bisa disebut sebagai komponen investasi hanya tumbuh 3,87%, atau di bawah pertumbuhan ekonomi.
Rata-rata pertumbuhan komponen PMTB era 2015-2022 juga hanya sebesar atau lebih rendah dari pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan tertingginya sebesar 3,68% pada tahun 2018. Padahal pada era pemerintahan sebelumnya bisa mencapai 9%.
Komponen Konsumsi Rumah Tangga tumbuh cukup pesat, yakni sebesar 4,93% pada tahun 2022. Sebelumnya terkontraksi 2,63% pada tahun 2020 dan hanya tumbuh 2,02% pada tahun 2021. Meski masih lebih rendah dibanding sebelumnya, peran komponen ini masih dominan.
Komponen Konsumsi Pemerintah justeru mengalami kontraksi atau minus sebesar 4,51% pada tahun 2022. Dengan kontraksi itu, sumbangannya terhadap pertumbuhan ekonomi bersifat mengurangi. Bahkan rata-rata pertumbuhan komponen ini pada tahun 2015-2022 hanya sebesar 2,15%. Fakta tersebut kurang mendukung narasi kebijakan Pemerintah yang mengemukakan fiskal ekspansif ataupun APBN berperan penting mendorong pertumbuhan ekonomi.
Komponen pengeluaran yang tumbuh pesat pada tahun 2022 adalah Ekspor Barang dan Jasa yang mencapai 16,28%. Capaian ini melanjutkan pertumbuhan tinggi pada tahun 2021 yang sebesar 17,95%. Padahal sempat terkontraksi dalam pada tahun 2020 sebesar 8,42%.
Akan tetapi, pesatnya komponen ini kurang berdampak luas pada dinamika perekonomian nasional, terutama berupa kecilnya efek pengganda bagi kondisi ekonomi rakyat kebanyakan. Peningkatan terutama karena komoditas seperti batubara, minyak kelapa sawit, serta besi dan baja. kinerjanya dikhawatirkan sulit berkelanjutan karena sangat bergantung pada pasar dunia yang amat bergejolak.
Pengangguran dan Kemiskinan Tidak Membaik Signifikan
Kurang berkualitasnya pertumbuhan ekonomi tahun 2022 juga telah diindikasikan oleh fenomena ketenagakerjaan dan kemiskinan. Jumlah penganggur masih sebanyak 8,42 juta orang dan tingkat pengangguran terbuka sebesar 5,86% per Agustus 2022. Masih lebih buruk dibanding sebelum pandemi, yakni sebanyak 7,10 juta orang dan 5,28% per Agustus 2019.
Jumlah penganggur bahkan bertambah sebanyak 1,18 juta orang dibanding 7,24 juta orang pada Agustus 2014. Sedangkan persentase atau tingkat pengangguran terbuka hanya turun sebanyak 0,08% poin, dari 5,94% pada Agustus 2014.
Jumlah penduduk miskin per September 2022 tercatat masih sebanyak 26,36 juta orang dan tingkat kemiskinan masih sebesar 9,57%. Lebih tinggi dibanding September 2019 yang sebanyak 24,79 juta orang dan 9,22%. Penurunan pada tahun 2022 dibanding 2021 terlampau kecil, atau bisa dikatakan pertumbuhan ekonomi tidak berpengaruh secara berarti.
Jumlah penduduk miskin selama delapan tahun, era tahun 2014-2022, hanya berkurang 1,37 juta orang, dari 27,73 juta orang pada September 2014. Sedangkan persentase atau tingkat kemiskinan terbuka hanya turun sebanyak 1,39% poin, dari 10,96% pada September 2014. [rif]