SABAR adalah ketika respon pertama, artinya begitu kena musibah, sontak hati meresponnya secara positif.
Nah, ketika menjelaskan tentang kesabaran, Allah menegaskan bahwa tatkala ditimpa musibah, ucapkan “Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un”. Berarti ungkapan “inna lillahi…” ini adalah wujud sabar.
“Orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka berkata ‘Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un’ (sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nyalah kami kembali).” (Al-Baqarah: 156).
Ayat tersebut melanjutkan ayat sebelumnya, Allah saking cinta kepada kaum mukmin, justru akan mengujinya dengan musibah. Sedang musibah itu sendiri adalah apa-apa yang berasa menyakiti kita.
Sungguh rasa sakit itu tak mengenakkan. Karena shoftware manusia cenderung pengin diberi kenikmatan. Dan yang namanya nikmat adalah apa-apa yang sesuai dengan hawa nafsu, yang sesuai dengan tabiat.
Maka, sehat itu nikmat, karena kita senang. Keluarga yang bahagia itu nikmat, karena kita suka. Dan uang itu nikmat, karena siapa yang tak menginginkan dengan uang. Jadi, akan disebut nikmat karena tabiat kita menyukainya.
Malahan saking sukanya dengan nikmat tersebut, kita sedemikian memuji sang pemberi nikmat, baik manusia maupun Tuhan.
Seseorang yang merasa mendapat nikmat, akan mengatakan bahwa Tuhan telah memuliakannya. Kemudian coba dibalik, ketika yang datang adalah jatuh miskin, Tuhan dikatakan telah menghinakannya.
Padahal, kebiasaan Tuhan, sunnatullah, bahwa wujud Dia mencintai hamba-Nya adalah dalam bentuk ujian musibah. Maka, sekira hendak mendapat cinta Allah, mau tak mau harus menerima ujian musibah.
Bayangkan, kurang mulia apa Rasulullah itu, tetapi Allah Swt. malah mengabarkan kepada beliau, “Kamu pasti akan diuji dengan hartamu dan dirimu. Dan pasti kamu akan mendengar banyak hal yang sangat menyakitkan hati dari orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu dan dari orang-orang musyrik. Jika kamu bersabar dan bertakwa, maka sesungguhnya yang demikian itu termasuk urusan yang diutamakan.” (Ali Imran: 186).
Itu pula yang bakal kita alami, karena kita mengikuti beliau, bahwa Allah pasti menguji dengan harta atau pun diri. Dengan harta, misalnya, tetiba kita jatuh bangkrut. Kita boleh bersedih hati, tapi tetap sewajarnya, tidak berlebihan, apalagi sampai memaki keadaan dan Tuhan.
Diuji dengan diri, seperti, tiba-tiba di jalan kita ditampar orang, diludahi orang. Dan Nabi Saw. sering mengalaminya. Beliau kerap diludahi, yang notabene itu merupakan penghinaan tingkat dewa. Namun, sedari dini Nabi Saw. terdidik untuk mengalami derita. Beliau mendidik diri untuk siap menghadapi celaan. Menguatkan diri untuk siap menerima makian, dan seterusnya.
Nah, kita semestinya begitu. Mendidik diri untuk siap menghadapi celaan, bukan reaktif terhadap celaan.
Ada cerita, dulu ada sebagian ulama yang memang menyiapkan diri dengan meminta santri-santrinya untuk memakinya. Awal tentunya sang santri tidak mau, tapi si ulama terus mendesak, maka jadilah sang ulama saban hari dicaci maki oleh santrinya sendiri.
Dari situlah, berbahagialah kita yang memiliki istri cerewet. Punya bos yang bawel, yang gemar marah. Berarti Allah telah menyiapkan madrasah atas kita, tanpa mesti mencari ke mana harus berlatih sabar.
Jika kita memiliki seorang bos yang suka mengamuk selama 30 tahun, tetapi kita masih tak siap juga menerimanya, itu sama artinya berlatih tinju selama 30 tahun tetapi tak kunjung mahir, tidak menjadi petinju hebat. Berarti dalam berlatih tak menjiwai.
Maka, sungguh Rasulullah Saw. itu manusia super luar biasa. Beliau itu memiliki kekuatan sekaligus siap menerima hinaan. Sebab, banyak manusia yang siap menghadapi pukulan, tetapi tak siap dengan hinaan. Sementara Rasulullah, saat orang-orang Makkah menjatuhkan harga dirinya, beliau tetap tenang. Padahal, saat beradu fisik, Rasulullah yang menang.
Oleh karena itu, bisa jadi kebanyakan di antara kita, tidak atau kurang terlatih dalam perkara sabar, perkara menghadapi yang tak melegakan hati.
Pesan Kiai Baidhowi, “Jadi orang jangan terlampau mulya, supaya tidak takut ketika dapat musibah. Sebab kebanyakan kita terlalu penakut. Sakit sedikit langsung overprotect. Padahal jelas, Allah mencintai kita justru dengan banyak menurunkan musibah.”
Maka, pelajaran bersabar pun harus ditingkatkan, agar bisa rida dengan keputusan Allah yang bersierat dengan musibah.
Sabda Rasul Saw., “Barangsiapa yang berlatih sabar, maka Allah akan memudahkan kesabaran baginya.”
Rasulullah menambahkan, “Barangsiapa sudah diberi kesabaran, walau hanya 5 %, itu sesuatu yang besar di sisi Allah.”
Pertanyaan ke diri kita, pernahkah kita berlatih sabar? Kapan latihannya? Dan berapa durasinya? Jangan sampai umur sudah 70 tahun, tapi juga belum pernah latihan.***