“Makamah Konstitusi hanya bertindak ketika ada gugatan dari masyarakat”
Barisan.co – Tahun 2013 saya mencoba mengirim puisi untuk mengikuti penerbitan buku antologi Puisi Menolak Korupsi (PMK). Road Show diselenggarakan dari berbagai daerah. Seiring perkembangannya PMK menjadi Gerakan Puisi Menolak Korupsi.
Sebagai warga negara yang berakal sehat tentu mendukung gerakan pemberantasan korupsi. Saya tidak membahas persoalan korupsi yang dilakukan seseorang. Berapa jumlah yang di korupsi. Partai atau kelompok mana yang memiliki nilai tertinggi sebagai lembaga yang menduduki peringat tertinggi nilai korupsinya.
Menyayangkan korupsi sering disalahpahami oleh kebanyakan orang sebagai tindakan yang hanya terkait dengan penjarahan harta rakyat dan tindakan yang merugikan keuangan rakyat. Sederhananya korupsi hanya persoalan penyelewengan uang negara untuk kepentingan pribadi maupun kelompoknya.
Arti korupsi mencakup setiap tindakan yang mencederai amanat rakyat. Atau secara moral tidak bersih atau tidak dibenarkan. Kesalahpahaman kebanyakan orangpun tentu dapat dimaklumi. Sebab lembaga penanganan korupsi seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai lembaga resmi pemerintahan pun hanya memahami korupsi dalam arti sempit.
Tidak heran jika kita hanya mendapatkan suguhan persoalan korupsi di televisi, koran, media online maupun media sosial sebatas orangnya, partai atau lembaga, maupun jumlah dan barang yang di korupsi. Kita merasa senang melihat tontonan seseorang yang memakai baju warna orange, lambaian tangan dan senyum manis koruptor.
Puisi saya mempersoalkan kejahatan legislasi atau korupsi legislasi. Saya sekadar bertanya atas pemahaman arti korupsi ataukah seperti itu adanya. Apakah pemahaman terhadap arti korupsi yang tidak utuh tersebut mampu mempengaruhi keberhasilan mewujudkan pemerintah yang bersih?
Saya akan menjawabnya tegas, “tentu saja.” Bahkan sangat besar pengaruhnya. Penyempitan arti korupsi ini sungguh bukan persoalan mudah dan sepele. Lalu kita mengkesampingkan dan tidak peduli persoalan tersebut.
Legislasi
Arti sempit korupsi ini telah menghalangi masyarakat untuk melihat adanya korupsi yang jauh lebih besar dan membahayakan. Ia bisa menjadi sumber dari segala bentuk korupsi. Ia adalah korupsi di bidang politik dan hukum.
Warga masyarakat hanya diwakili oleh para wakil rakyat dari partai-partai. Partai hanyalah kumpulan sekelompok orang yang memiliki kepentingan. Tentu kepentingan organisasi dan kelompok pemodal yang juga memiliki kepentingan atas kekayaan negara ini.
Persoalan politik dan hukum lebih besar yang berkutat pada itu saja. Lalu persoalan tersebut tumbuh menjadi kejahatan dalam bidang legislasi. Bidang legislasi atau undang-undang maupun peraturan lainnya.
Misalnya saja, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengesahkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang atau Perppu penanganan Virus Corona atau Covid-19. Bisa saja dalam Perppu tersebut mengatur kebijakan pemerintah yang dapat memberi kekebalan hukum kepada pemerintah dalam pengelolaan dana penanganan Covid-19.
Atau, persoalan Omnibus Law UU Cipta Kerja yang mana bisa saja warga masyarakat dibuai dengan kenyamanan berupa mendorong penciptaan lapangan kerja, memudahkan pembukaan usaha baru, maupun mendukung upaya pemerintah menangani korupsi. Siapa tahu disisipi kemudahan bagi para investor asing untuk melahap hutan, laut, tambang, maupun tanah. Bahkan membuat pasal-pasal yang mampu melamahkan fungsi KPK.
Itulah kejahatan legislasi. Pembuatan Undang-Undang atau peraturan yang tidak adil. Hal ini hampir tidak pernah disebut sebagai korupsi. Bahkan tidak ada sanksi bagi pelakunya. Padahal kejahatan ini mengorbankan dan menista seluruh rakyat.
Penyalahgunaan wewenang dan jabatan untuk membuat produk undang-undang atau peraturan yang bertentangan dengan rasa keadilan adalah jelas tindakan korup yang tingkatannya lebih tinggi daripada penjarahan uang rakyat.
Ini hanyalah secuil dasar dan tanpa makna, namun sangat berbahaya. Tidak ada lembaga resmi yang bertugas secara aktif untuk memberantasnya. Sebagaimana di awal, “Makamah Konstitusi hanya bertindak ketika ada gugatan dari masyarakat.”
Selain itu, para akademisi, mahasiswa, buruh maupun warga masyarakat hanya bisa menunaikan haknya untuk melakukan aksi dan demonstrasi. Menyuarakan ketidakadilan.
Diskusi tentang post ini