“Wahai Abu Nawas, jika engkau tak mampu menjadi garam yang melezatkan hidangan, janganlah engkau menjadi lalat menjijikkan, yang merusak hidangan itu.”
BARISAN.CO – Siapa tidak kenal Abu Nawas? Ia selalui digambarkan sosok orang yang sangat cerdik, lucu dan mampu menjawab pertanyaan dengan kemampuan yang bernalar. Meski demikian, ternyata ia adalah pujangga dari Timur Tengah, syair Abu Nawas yang terkenal hingga saat ini berjudul Al-I’tiraf.
Sastra memiliki peran penting dalam kehidupan Abu Nawas, ia mampu menghasilkan ciptaan kreatif dari pengalamannya. Sehingga ekspresi estetis karya sastra yang dibuat Abu Nawas berdasarkan dari pengalaman, hati dan akal berpikir.
Melalui sastra ini Abu Nawas dapat mengugkapkan apa yang ada di dalam dirinya untuk diketahui maksudnya oleh orang lain. Tentu maksud agar diketahui orang lain akan menjadikan karyanya penuh dengan interprestasi dan menghasilkan makna yang sangat luas.
Pemilik nama lengkap Abu Ali al-Hasan ibn Hani al-Hakami, ia seorang pujangga arab yang hidup pada abad ke-8 Masehi.
Al-I’tiraf menjadi salah satu syair Abu Nawas yang paling dikenal. Syairnya berbentuk puisi lirik yang memiliki bahasa metafora dan perumpamaan yang sangat dalam.
Sampai saat ini syair tersebut masih populer di kalangan masyarakat, terlebih lagi masyarakat muslim. Karya syair Abu Nawas Al-I’tiraf tidak hanya berbentuk sholawat yang dilantunkan dalam lagu album religi. Akan tetapi syair tersebut bahkan dijadikan puji-pujian azan sebelum menjalankan ibadah sholat.
Karya sastra Abu Nawas dipopulerkan pelantun lagu sholawat Hadad Alwi dan Sulis, bahkan sampai saat ini lagu tersebut ada beragam versi covernya.
Al-I’tiraf artinya pengakuan. Lantas apa kehebatan puisi pengkuan tersebut, tentu kehebatannya berada pada sosok Abu Nawas itu sendiri. Sebagaimana diawal bahwasanya ia digambarkan sosok yang cerdik dan ceras.
Bahkan sosonya diterangkan dalam kitab al-Wasith fi al-Adab al-‘Arabi wa Tarikhih, ia digambarkan sebagai penyair yang memiliki multivisi. Bahkan ia disebut sebagai sosok yang berlidarh tajam, penghayal yang ulung dan tentunya sosok sastrawan Timur Tengah yang dikagum banyak orang.
Namun dibalik kehidupannya yang seakan lucu, kocak, jenaka dan jenis ada sisi yang tersembunyi yakni Abu Nawas ternyata gemar melakukan maksiat di masa muda, khususnya ia tidak dapat lepas dengan minuman keras alias mabuk.
Meski demikian Abu Nawas sosok yang gemar mencari ilmu, ia sering membantu pamannya. Setiap menyelesaikan tugas dari pamannya, ia akan menuju masjid untuk belajar ilmu agama dan pengetahuan lainnya terlebih bidang sastra, fikih dan hadis.
Di ruang-ruang pengetahuan inilah Abu Nawas bertemau dengan pujangga yang terkenal pada saat itu yakni Abu Usamah yang memiliki nama lengkap Walibah bin al-Habab. Dari perkenalannya dengan Abu Usamah, lalu Abu Nawas diakan menuju Kufah.
Selesai belajar di Kufah bersama Abu Usamah, hasrat belajar Abu Nawas makin kuat untuk belajar sastra. Iapun memberanikan diri dan minta izin kepada Abu Usamah untuk melakukan pengembaraan belajar yang lebih mendalam dalam bidang sastra.
Pengembaraan inilah yang membuat pengalaman Abu Nawas makin teruji, ia mampu menghasilkan karya-karya yang hingga saat ini masih dikaji dan diamalkan sebagai lagu sholawat.
Syair Abu Nawas berjudul Al-I’tiraf yang artinya pengakuan merupakan sajak pertaubannya atas jalan pengembaraannya yang kotor. Melalui syair ini Abu Nawas menyesali atas masa lalunya yang kelam dan gemar mabuk-mabukan.
Pada suatu ketika Abu Nawas minum-minuman keras, dalam kondisi mabuk parah ia didatangi seseoang dan berkata:
“Wahai Abu Hani jika engkau tak mampu menjadi garam yang melezatkan hidangan, janganlah engkau menjadi lalat menjijikkan, yang merusak hidangan itu.”
Bahasa puitis di atas inilah yang menyadarkan Abu Nawas, iapun merubah perilakunya menjadi lebih baik dan menghasilan syair-syair yang religius yakni sebuah pengakuan atau Al-I’tiraf.
Berikut ini lirik Al-i’tiraf Teks Arab, latin dan artinya:
ِإِلهِي لََسْتُ لِلْفِرْدَوْسِ أَهْلاَ# وَلاَ أَقوى عَلَى النّارِ الجَحِيم
فهَبْ لِي تَوْبَةً وَاغْفِرْ ذنوبِي # فَإنّكَ غَافِرُ الذنْبِ العَظِيْم
ذنوبِي مِثلُ أَعْدَادٍ الرّمَالِ # فَهَبْ لِي تَوْبَةً يَاذَاالجَلاَل
وَعُمْرِي نَاقِصٌ فِي كُلِّ يَوْمٍ # وَذنْبِي زَائِدٌ كَيفَ احْتِمَالِي
َإلهي عَبْدُكَ العَاصِي أَتَاكَ # مُقِرًّا بِالذنوبِ وَقَدْ دَعَاك
َفَإِنْ تَغْفِرْ فَأنْتَ لِذاك أَهْلٌ # فَإنْ تَطْرُدْ فَمَنْ نَرْجُو سِوَاك
Al-i’tiraf Teks Latin
Ilaahii lastu lil firdausi ahlaan wa laa aqwaa ‘alaa naaril jahiimi
Fa hablii taubatan waghfir zunuubii fa innaka ghaafirudzdzambil ‘azhiimi
Dzunuubii mitslu a’daadir rimaali fa hablii taubatan yaa dzaaljalaali
Wa ‘umrii naaqishun fii kulli yaumi wa dzambii zaa-idun kaifah timaali
Ilaahii ‘abdukal ‘aashii ataaka muqirran bidzdzunuubi wa qad da’aaka
Fa in taghfir fa anta lidzaaka ahlun wa in tathrud faman narjuu siwaaka
Artinya:
Wahai Tuhanku ! Aku bukanlah ahli surga, tapi aku tidak kuat dalam neraka Jahim.
Maka berilah aku taubat (ampunan) dan ampunilah dosaku, sesungguhnya engkau Maha Pengampun dosa yang besar.
Dosaku bagaikan bilangan pasir, maka berilah aku taubat wahai Tuhanku yang memiliki keagungan.
Umurku ini setiap hari berkurang, sedang dosaku selalu bertambah, bagaimana aku menanggungnya.
Wahai, Tuhanku ! Hamba Mu yang berbuat dosa telah datang kepada Mu dengan mengakui segala dosa, dan telah memohon kepada Mu.
Maka jika engkau mengampuni, maka Engkaulah yang berhak mengampuni. Jika Engkau menolak, kepada siapakah lagi aku mengharap selain kepada Engkau?. [Luk]