Berliterasi digital adalah upaya reflektif untuk menyingkap perubahan antropologis, epistemologis, dan estetis yang diakibatkan oleh interaksi manusia dengan dunia digital
TERUS terang, saya tak bisa menahan tawa mendengar lagu Iwan Fals, Dajal Net. Betapa browsing dan googling justru telah menjadikan kita malas berpikir, canda Iwan Fals dalam lagunya.
Pertanyaannya, apakah kini kita masih perlu berpikir? Apa arti kecakapan hidup? Apa arti literasi?
Ketika kita lebih suka menundukkan kepala sekadar mengasyiki game online atau lagi browsing, yang sama sekali jauh dari upaya merenungi persoalan hidup. Seolah isi Whatsapp, Tik-tok, Twitter, dan atau yang lainnya itu lebih riil ketimbang kenyataan. Lebih berharga daripada berempati kepada pedagang kakilima yang kesulitan mencari minyak goreng.
Tidak jarang kita malahan gagap melihat kenyataan, saking berasa mahir di alam maya. Bahwa dengan ponsel di tangan, kita bisa dan bebas mengungkapkan unek-unek. Tidak ada lagi hierarki moral yang membatasi orang untuk berbicara. Kita bebas mengumbar kata ke segala penjuru tanpa sekat.
Namun, begitu akses langsung berada dalam genggaman, justru cita-cita hidup harmoni terancam lumpuh. Alih-alih mengupayakan saling pemahaman, kerap kali media-media sosial menjadi sarana penyebaran hoaks, berita palsu, dan serbaneka horor yang lain.
Memang, bertelepongenggam berasa demokratisasi sosial itu nyata. Setiap dari kita bebas berpendapat. Bahkan mendadak pakar yang mengerti banyak hal. Mendadak sebagai Tuhan Yang Maha Penentu.
Nah, literasi yang dari dasarnya merupakan kemampuan menulis dan membaca, mengisyaratkan kemampuan berpikir. Sebab mustahil membaca atau menulis tanpa berpikir. Berpikir adalah mempersoalkan.
Bahwa pada masa Yunani kuno, mempersoalkan mitos sebagai realitas semu. Di zaman modern, mempersoalkan ideologi atau keyakinan sebagai bentuk lain mitos.
Tetapi kini, dalam revolusi digital, ketika luapan informasi mangacaukan persepsi, kedalaman berpikir seperti yang dimaui para filsuf Yunani kuno tak diperlukan.
Para pengguna gawai tampak tidak lagi peduli bahwa mereka telah menjadi tawanan layar. Mereka menikmati realitas dalam gawai sebagai kenyataan. Padahal belum tentu realitas dalam gawai itu fakta.
Terus bagaimana literasi digitalnya? Jika toh kemampuan memahami fakta berbasis digital ternyata sama dangkalnya dengan yang menjadi tawanan layar gawai.
Dalam hal ini, saya menilik peran filsafat yang mengajak berpikir untuk menemukan kebenaran, memaknai keindahan, dan menilai kebaikan.
Maka, berliterasi digital adalah upaya reflektif untuk menyingkap perubahan antropologis, epistemologis, dan estetis yang diakibatkan oleh interaksi manusia dengan dunia digital. Sehingga jelas, apakah kita masih manusia tatkala bersanding dengan telepon genggam? Apakah masih sebagai kebenaran, kebaikan dan keindahan jika orisinialitas dan artifisialitas sulit dibedakan?
Bahwa tatkala menyalakan ponsel, dan terlibat saling sadap informasi, jelas isi dunia digital hanya fakta-fakta yang dibicarakan. Artinya tak sepenuhnya fakta dunia riil.
Namun, lazimnya kita lebih percaya dengan informasi yang tersiar di gawai, ketimbang obrolan langsung. Seolah yang di gawai itu lebih riil. Lebih dalam, padahal permukaan dan dangkal.
Itulah yang patut direnungkan, betapa kita lebih menjadikan kebenaran tidak lagi dicari dengan refleksi diri dalam benak, pada daya cerap, atau dalam lubuk hati paling dalam. Tetapi cukup dengan menyentuh layar, niscaya Google, Youtube, dan platform-platform media sosial siap mengarahkan jawaban.
Betapa kecakapan akal untuk mengolah pengetahuan tidak lagi herois sebagaimana dahulu pada abad pencerahan Eropa, abad ke-17, atau era keemasan Islam abad ke-12.
Memang, digitalisasi jadi berasa meringankan kerja fisik kita. Ber-online tak mengandaikan kehadiran tubuh, bodyless. Kita bisa berkomunikasi di sana sekaligus di sini, dengan tubuh entah di mana. Kita tidak saling merasakan secara langsung tindakan ragawi. Maka, tak aneh pula, ber-online ria itu minim komitmen. Kita kehilangan situasi.
Lagi pula, berselancar di gawai, perbedaan lokal dan global langsung menghilang. Era digital mengandaikan hidup di tengah belantara global. Bahwa setiap tindakan berpotensi global.
Namun, akibat ketidakberpikiran, atau kurang berpikir secara mendalam, para pengguna gawai, seperti buru-buru berbagi informasi yang mendahului kesadaran, justru acap kali membahayakan orang atau kelompok lain.
Dari situlah, saya menangkap literasi digital penting didengungkan. Bukan sekadar untuk menuntaskan proyek bahwa masyarakat kita telah melek digital. Bukan sekadar untuk banyak-banyakan grup Whatsapp, berapa kali diskusi via Zoom, atau seberapa sering bikin konten Youtube. Tidak demikian. Jauh mendasar adalah untuk menyingkap ambivalensi komunikasi digital.
Literasi digital tidak sekadar urusan mengelola informasi berbasis internet, tetapi bagaimana memuliakan wajah kemanusiaan, seperti kreativitas, kebebasan, dan moralitas. Literasi digital, sebagaimana filsafat, harus menyediakan pertanyaan-pertanyaan kritis tentang sejauhmana teknologi digital dapat mendegradasi kemanusiaan hingga ke taraf mesin.
Bahwa dengan teknologi digital, kita menjadi manusia kosmopolitan, manusia yang terbuka kemungkinan terbentuknya kewargaan global. Namun, ancaman yang mengadang juga nyata. Yakni kecakapan hidup menjadi sekadar proses ‘teknis’ seperti browsing dan googling.
Sehingga akhirnya penting pula diupayakan penegakan etika bermedia sosial. UU ITE jangan tebang pilih. Bahwa saling menghina, berbohong, dan mengancam di media-media sosial hanya akan menghasilkan rasa kehilangan dunia. Saking pentingnya etika, maka etika berkomunikasi digital harus diberikan sejak dini.
Dengan demikian, kecakapan hidup dengan literasi digital tidak berhenti di slogan, tetapi benar-benar menjadi wahana untuk menyebar kebenaran, menyingkap keindahan, dan berbagi kebaikan. Begitu!