Diskusi publik PPPI dan Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) dengan tema Masa Depan Reformasi Birokrasi dan Pemerintahan (Berkaca pada kontroversi 349T di Kementerian Keuangan RI
BARISAN.CO – Ketua Dewan Pengurus LP3ES, Abdul Hamid mengatakan nampaknya Negara sedang mengalami komplikasi empat penyakit; sakit sembelit, sakit syaraf, busung lapar, dan sakit jantung.
“Jadi, birokrasi dan pemerintahan akan berkelanjutan tergantung negara makin sehat atau sebaliknya,” ujarnya saat memberikan sambutan diskusi publik Paramadina Public Policy Institute (PPPI) dan Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) dengan mengusung tema Masa Depan Reformasi Birokrasi dan Pemerintahan (Berkaca pada kontroversi 349T di Kementerian Keuangan RI, Rabu (12/04/2023).
Lebih lanjut tentang kesehatan, Abdul Hamid merinci, Pertama, kondisi negara seperti sakit sembelit, yang saya lihat itu sedang banyak penyakit selama 10 tahun terakhir ini. Negeri ini sedang sakit sembelit karena ada polarisasi antara Cebong dan Kampret.
Kedua, sakit syaraf. Negara sudah mati rasa terhadap soal keadilan dan tuntutan rakyat atas berbagai aspirasinya, sperti soal tuntutan pembatalan UU Cipta Kerja dan lain sebagainya.
Ketiga, busung lapar dimana berkah durian runtuh penerimaan negara tidak menjadikan rakyatr semakin sejahtera. Negara punya duit banyak tetapi rakyat tetap melarat.
Skandal atau peristiwa kasus 349 triliun itu menunjukkan negara banyak duit. Tetapi apakah dana itu mengalir mensejahterakan rakyat bawah. Inilah persoalannya.
Keempat, seperti penyakit jantung yang bisa menyerang mendadak negara ini sampai collaps. Apakah kondisi ini hanya perlu obat warung atau gawat perlu siap-siap dipanggilkan ambulan, maka yang bisa jawab adalah dokter yang menjadi nara sumber seminar ini.
Ekonom Senior, Rizal Ramli mengatakan saat ini kalangan intelektual harus lebih menonjol perannya. Hal itu disebabkan perubahan yang didrive oleh kalangan intelektual akan sangat berbeda kualitasnya ketimbang perubahan yang dicreate oleh para politisi.
“Para pejuang kemerdekaan kita adalah kalangan intelektual. Maka dari itu hasilnya bukan hanya sekadar kemerdekaan tapi juga prinsip-prinsip dasar dari kemerdekaan. Kebangkitan intelektual Indonesia sekarang tidak bisa lagi diharapkan dari dosen-dosen universitas negeri.” Terangnya.
Menurut Rizal Ramli saat ini negara menuju otoritarianisme, penguasa mulai melakukan pelemahan-pelemahan komponen demokrasi.
“Jalan menuju otoritarianisme kini oleh penguasa dimulai dengan pelemahan komponen-komponen demokrasi, yang dimulai sejak dikooptasinya 9 ketua partai. Kedua, mulai digunakannya para buzzer dan influencer untuk memuji-muji pemerintahan Jokowi dan menghantam oposisi. Ketiga, dengan sengaja terus menerus menggelindingkan isu isu Islam phobia. Orang yang tidak suka dengan Islam politik akan menganggap Jokowi pahlawan,” terangnya.
Jadi menurut Rizal Ramli, meski banyak terjadi ketidakbecusan kinerja ekonomi, namun tetap dipuja-puji oleh kelompok abangan, minoritas dan nasionalis yang sempit dan tidak suka dengan Islam. Itu semua adalah politik pengalihan issue.
Terkait skandal Rp349 triliun, mantan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Republik Indonesia menyampaikan skandal Rp349 triliun di Kemenkeu itu termasuk skandal keuangan paling besar di dunia atau (23 miliar USD). Jumlah yang sangat besar sekali untuk skala dunia.
“Di negara maju ada kasus 10 juta USD saja langsung masuk penjara. Trump saja masuk penjara karena kasus Rp3 – 4 miliar saja karena menyogok selingkuhannya. Dan masih banyak contoh lain. Kasus Rp 349 triliun sudah kategori “Tera Skandal” bukan lagi Mega skandal,” jelasnya.
Sementara itu, Direktur Center for Media and Democracy, LP3ES, Wijayanto menyampaikan situasi demokrasi terakhir di Indonesia sebagaimana disitir oleh para ahli politik memang tengah mengalami kemunduran dan bahkan reverse atau pembalikan ke arah otoritarianisme.
“Kita amat khawatir bahwa Pemilu 2024 tidak akan menghasilkan apa-apa dan hanya ritual dan prosedur formalitas. Yang terpilih adalah orang-orang dan elit dan oligarki yang sama. Warga negara hanya menjadi penonton dan subjek penderita,” ujarnya.
Wijayanto mengatakan sayangnya di Indonesia dari pemilu ke pemilu kita tidak pernah membahas isu yang sangat substantif. Isu ketimpangan ekonomi, keadilan sosial, dan kesejahteraan telah dialihkan ke politik identitas.
“Politik identitas yang direkayasa itu dijalankan untuk menyembunyikan persoalan substantif tadi dan hanya obat sesaat bagi ketimpangan yang dirasakan oleh publik secara nyata,” pungkasnya.