Istilah malam Minggu kental dipengaruhi oleh budaya Jawa dan Islam.
BARISAN.CO – Penyebutan ‘malam Minggu’ dan ‘Sabtu malam’ punya latar belakang budaya yang amat berbeda.
Ada istilah yang kita serap begitu saja ke dalam Bahasa Indonesia. Ada juga yang harus melalui akulturasi budaya dan pada akhirnya melahirkan keunikan tersendiri.
Dalam konteks penyebutan hari, kita misalnya mengenal istilah Sunday morning yang diterima begitu saja tanpa perubahan tata bahasa sedikitpun. Jika diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia, Sunday morning akan disebut Minggu pagi sesuai dengan kaidah literer.
Menariknya, hal itu tidak terjadi pada istilah seperti Saturday night.
Mengacu pada tata bahasa literer, seharusnya kita menerjemahkan Saturday night menjadi Sabtu malam. Namun, istilah ini tidak pernah populer, dan kita justru lebih menyebutnya malam Minggu.
Apakah Sabtu malam dan malam Minggu berbeda? Keduanya mengacu pada waktu spesifik yang sama. Umumnya ditandai aktivitas muda-mudi yang sibuk berpesta, pacaran, nongkrong, ngopi, maupun hal lain yang ujungnya membawa kesenangan (leisure).
Kenapa masyarakat Indonesia lebih senang menyebut malam Minggu, boleh jadi karena kentalnya pengaruh adat Jawa.
Pengaruh Kultur Jawa
Penjelasan menyangkut kebiasaan penyebutan ini bisa dilacak pada tradisi Jawa lama. Mula-mula mengacu kebiasaan, orang Jawa zaman dahulu acap menyebut siklus hari mingguan (Senin, Selasa, dst) dan diikuti dengan siklus hari pasaran yakni Pahing, Pon, Wage, Kliwon, Legi.
Kombinasi siklus mingguan dan siklus pasaran ini biasanya diucapkan secara berurutan menjadi Minggu Pahing, Rabu Pon, Jumat Kliwon, dan seterusnya.
Namun karena siklus mingguan dan siklus pasaran biasa diucapkan urut, maka kurang lazim bagi lidah Jawa untuk menyisipkan waktu spesifik seperti ‘pagi’ atau ‘sore’ setelah penyebutan siklus mingguan seperti Sabtu pagi atau Sabtu sore.
Jadi, sekali lagi, penyebutan siklus mingguan lazimnya diikuti siklus pasaran, bukan waktu spesifik.
Adapun biasanya orang Jawa meletakkan waktu spesifik tersebut di depan, diikuti siklus mingguan, diikuti siklus pasaran, sehingga umumnya lebih sering terdengar penyebutan malam Jumat Kliwon, malam Senin Pon, dan seterusnya.
Secara unik, masyarakat Jawa nyaris tidak pernah membubuhkan waktu spesifik selain malam. Penyebutan seperti sore Jumat Kliwon, pagi Minggu Pahing, ataupun siang Kamis Legi, terdengar kurang lazim.
Mungkin hal ini disebabkan oleh pandangan umum tentang keutamaan malam bagi masyarakat Jawa. Petang dianggap sesuatu yang sakral sehingga perlu disebutkan secara spesifik. Sementara pagi, siang, dan sore dianggap sebagai profan dan tidak istimewa.
Soal keutamaan malem bagi masyarakat Jawa ini dapat dilacak dari sastra maupun syair-syair. Sunan Kalijaga, semisal, menciptakan syair berjudul Saben Malem Jumat. Syair ini adalah gabungan bahasa Jawa dan Arab yang ia gubah untuk kepentingan dakwah. Hingga saat ini, masyarakat di desa-desa masih sering melantunkan syair ini.
Akan tetapi pandangan tersebut bisa jadi salah. Mungkin ada penjelasan lain yang lebih tepat yang tidak terangkum dalam catatan ini.