Pernah, suatu tempo, Klub CMid Semarang, kumpulan para orangtua yang mencobapraktikkan metode Charlotte Mason, berkemah di lereng Gunung Ungaran. Dan, di siang yang terik, saya bersama para orangtua duduk mengobrol di bawah rindang pinus, seraya peluh terus mengucur dari punggung-punggung kami. Anak-anak bermain bebas. Mereka berinisiatif sendiri tanpa komando dari kami, orangtua, bermain kejar-kejaran. Ada yang mengumpulkan ranting dan bermain tanah.
Saya larut dalam obrolan dengan para bapak—para mak juga bikin kalangan sendiri merumpikan entah apa—sembari celingukan mengawasi Ahimsa dan Rakai. Dalam hati saya terus-menerus membatinkan mantra “masterly inactivity, masterly inactivity!” Hal itu saya lakukan untuk mengerem ocehan dan cerewet tak penting yang bisa saja tiba-tiba meluncur menimpa baik Ahimsa maupun Rakai.
Saya harus bisa menahan diri. Saya harus benar-benar yakin, anak memiliki kemampuan secara alami untuk mengamankan diri. Anak berkemampuan menajamkan daya perhatian. Menentukan sendiri pilihan-pilihan permainan, serta merangkai pelajaran yang diperoleh dari pengalaman berkemah.
Namun, tetap saja, perasaan gundah itu datang meneror secara tiba-tiba. Ia menggugat, atau lebih tepatnya mempermainkan, keyakinan saya tentang keajaiban dan keunikan setiap anak. Ketika saya mengedarkan pandangan dan menemukan Rakai yang hanya duduk terdiam di atas bongkahan batu kecil, sontak saya risau “kenapa dia?” Padahal teman-temannya masih mengasyiki permainan. Pun begitu ketika melihat kakaknya, Ahimsa, yang justru malah menenggelamkan diri bersama buku, otak mamalia saya seketika bergelegak dan pengin menghardiknya, agar ia turut main bersama teman-teman yang lain .
Lagi-lagi mantra sakti “masterly inactivity” yang menyelamatkan saya dari dominasi otak emosi. Bahwa kesadaran untuk tidak boros ocehan, lantaran percaya dan (sekaligus) respek terhadap anak, lamat-lamat menggiring saya untuk waspada dari sergapan perasaan “gimanaaa…gitu” dan cepat-cepat menambatkan diri ke neokorteks, otak rasional.
Demikian akhirnya, saya menangkap kesan bahwa masterly inactivity, tak lain adalah konsep untuk mendewasakan diri, baik anak maupun orangtua. Anak akan bebas berekspresi dan berlatih menerima kenyataan. Bahwa kenyataan tak selalu lurus dengan harapan. Pun orangtua mesti benar-benar sanggup menempatkan diri secara tepat, saat mendampingi anak. Sabar tapi tidak cuek.
Begitu kira-kira!