Scroll untuk baca artikel
Kontemplasi

Manusia itu Budi Pekerti

Redaksi
×

Manusia itu Budi Pekerti

Sebarkan artikel ini

Menurut Pak Muh, merujuk ayat tersebut, medan operasional kemanusiaan itu ada tiga, yakni: hati, mata, dan telinga. Hati berperan sebagai pemandu proses hidup. Mata berperan untuk mengenal struktur semesta, tempat kita menemu fasilitas hidup dan ruang pengembangan diri. Sementara telinga berperan untuk menangkap informasi, di mana kita dapat merespon situasi kehidupan. Jadi, ada “proses hidup”, “struktur semesta”, dan “situasi kehidupan”.

“Struktur semesta” menjadi wilayah kerja akal atau intelek. Ini adalah olah pikir yang mengembangkan nalar kritis, nalar penyelesaian masalah, dan kesanggupan untuk mereproduksi pengetahuan dan penalaran, melalui proses penelitian dan pengembangan dalam pelbagai bidang dan disiplin ilmu.

Singkatnya, olah pikir ini melahirkan kebenaran objektif. Dan, kegiatan riil yang bisa kita lakukan di ranah ini adalah menjaga tradisi literasi dan erudisi. Tradisi baca-tulis, dan daya baca. Kemampuan membaca, memahami isi bacaan.

“Situasi kehidupan” adalah ranah rasa. Belajar olah rasa ini untuk mengasah daya afektif, yang memperkuat kepekaan estetik, kehalusan perasaan, keindahan budi pekerti, kepekaan empati dan solidaritas sosial, sensivitas daya spiritualitas, ketajaman rasa keadilan, dan seterusnya. Berolahrasa adalah upaya menjelmakan kebenaran subjektif, memahami sesuatu di mana akal tak sanggup mengungkap. Intelek berhenti bekerja.

Lantas, “proses hidup” adalah wilayah di mana akal dan rasa tidak bisa menjangkau. Satu-satunya cara hanya dengan menjalani, “nglakoni” istilah Jawa. Dan, wilayah ini hanya bisa diatasi oleh agama. Dengan demikian, agama—sesungguhnya—ada untuk merampungi dimensi di mana akal dan rasa tidak sanggup mengatasi.

Agama adalah wilayah proses. Berapa kali akan berduka, berapa kali akan mengalami suka, akan seperti apa esok, dan lain sebagainya, menjadi domain agama. Wilayah yang mendorong kita untuk sanggup mengelola kehendak, olah karsa. Pak Muh menyebutnya sebagai kebenaran kontekstual.

Sehingga, tepatlah sekira dikatakan bahwa hakikat manusia adalah budi pekerti. Ki Hadjar Dewantara merumuskan budi sebagai olah cipta (pikir), olah rasa, dan olah karsa, sedang pekerti adalah daya atau tenaga. Budi pekerti sama dengan mendayagunakan pikiran, perasaan, dan kehendak.

Dan, akhirnya benar pula, sekira agama tidak akan bertentangan dengan ilmu pengetahuan, dan pengembangan kerja budaya dan seni, karena memang masing-masing berdiri di ranah berbeda, tapi tak terpisah.

Agama ada untuk menuntun kehendak di kesadaran kita, untuk mengembangkan kreativitas inovatif dan kecakapan hidup. Walhasil, jelas sudah bahwa agama tidak bakal mengarah manusia menjadi pemberingas.

Hmmm, duhai Pak Muh!