Dan, altruis inilah—yakni semangat yang mengutamakan kepentingan orang lain, tidak mementingkan diri sendiri—yang melahirkan mentalitas gotong royong. Kita tahu gotong royong adalah sari pati Pancasila. Dengan begitu, selagi kita bisa mengetengahkan hakikat diri, itu sama halnya dengan ber-Pancasila.
Kemudian, Pak Muh mengurai detail medan tanggung jawab atas amanat itu. Sebagaimana gambaran Al-Quran tentang orang-orang yang lalai menunaikan amanat,
“Dan sesungguhnya, bagi neraka, telah Kami tetapkan banyak makhluk gaib dan manusia yang mempunyai hati, tetapi tidak dapat menangkap kebenaran, mempunyai mata, tetapi tidak dapat melihat, dan mempunyai telinga, tetapi tidak dapat mendengar. Mereka seperti binatang ternak—tidak, mereka bahkan kurang sadar terhadap jalan yang benar: mereka, mereka itulah orang yang (benar-benar) lalai!” (Al-A’raf: 179).
Menurut Pak Muh, merujuk ayat tersebut, medan operasional kemanusiaan itu ada tiga, yakni: hati, mata, dan telinga. Hati berperan sebagai pemandu proses hidup. Mata berperan untuk mengenal struktur semesta, tempat kita menemu fasilitas hidup dan ruang pengembangan diri. Sementara telinga berperan untuk menangkap informasi, di mana kita dapat merespon situasi kehidupan. Jadi, ada “proses hidup”, “struktur semesta”, dan “situasi kehidupan”.
“Struktur semesta” menjadi wilayah kerja akal atau intelek. Ini adalah olah pikir yang mengembangkan nalar kritis, nalar penyelesaian masalah, dan kesanggupan untuk mereproduksi pengetahuan dan penalaran, melalui proses penelitian dan pengembangan dalam pelbagai bidang dan disiplin ilmu.
Singkatnya, olah pikir ini melahirkan kebenaran objektif. Dan, kegiatan riil yang bisa kita lakukan di ranah ini adalah menjaga tradisi literasi dan erudisi. Tradisi baca-tulis, dan daya baca. Kemampuan membaca, memahami isi bacaan.
“Situasi kehidupan” adalah ranah rasa. Belajar olah rasa ini untuk mengasah daya afektif, yang memperkuat kepekaan estetik, kehalusan perasaan, keindahan budi pekerti, kepekaan empati dan solidaritas sosial, sensivitas daya spiritualitas, ketajaman rasa keadilan, dan seterusnya. Berolahrasa adalah upaya menjelmakan kebenaran subjektif, memahami sesuatu di mana akal tak sanggup mengungkap. Intelek berhenti bekerja.
Lantas, “proses hidup” adalah wilayah di mana akal dan rasa tidak bisa menjangkau. Satu-satunya cara hanya dengan menjalani, “nglakoni” istilah Jawa. Dan, wilayah ini hanya bisa diatasi oleh agama. Dengan demikian, agama—sesungguhnya—ada untuk merampungi dimensi di mana akal dan rasa tidak sanggup mengatasi.