INDONESIA pemilik lahan gambut terluas keempat di dunia (13,9 juta hektare) setelah Kanada (170 juta ha), Rusia (150 juta ha) dan Amerika Serikat (40 juta ha). Lahan gambut tersebar di 175 negara yang melingkupi 3 persen daratan bumi atau setara dengan 400 juta ha dan 11 persen di antaranya atau 42 juta ha termasuk gambut tropis.
Indonesia juga menjadi pemilik lahan gambut tropis terluas di dunia. Dengan luasan seperti itu lahan gambut Indonesia dapat menyimpan lebih kurang 14 persen karbon dari total gambut dunia yang menyimpan 550 gigaton karbon.
Lahan gambut di Indonesia tersebar di tujuh provinsi masing- masing di Riau, Jambi, Sumatra Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan dan Papua.
Luasan lahan gambut tersebut dipetakan dalam istilah Kesatuan Hidrologi Gambut (KHG). Konsep ini untuk mempermudah pengelolaan sistem gambut di Indonesia dengan merujuk pada ekosistem gambut yang berada di antara dua sungai, di antara sungai dan laut atau pada rawa.
Sampai saat ini di Indonesia terdapat 865 KHG dengan total luasnya lebih dari 24,7 juta ha. Sumatra memiliki 207 KHG dengan luas mencapai 9.604.529 ha (37,8 persen), menyusul Kalimantan 109 KHG memiliki luas 8.404.818 ha (34,6 persen) dan Papua 465 KHG dengan luas 6.595.167 ha (27,2 persen).
Ada dua jenis fungsi penataan KHG gambut. Pertama, fungsi lindung ekosistem gambut seluas 12,4 juta ha. Kedua, fungsi budi daya ekosistem gambut yang luasnya 2,3 juta ha.
Mengapa Ekosistem Gambut Penting?
Ekosistem gambut termasuk lima ekosistem penting karena memiliki nilai ekologi, ekonomi dan sosial.
Pertama, nilai ekologi. Peran ekologi, gambut menjadi penjaga stabilitas sistem tata air kawasan (hidrologis), menyimpan karbon dan habitat keanekaragaman hayati (biodiversitas)
Nilai hidrologis gambut yang paling dirasakan adalah menyimpan air ketika musim hujan dan mengalirkannya air di musim kemarau. Hal ini karena gambut mampu menyerap air sampai 13 kali lipat dari bobotnya.
Gambut juga memiliki peran sebagai penyerap dan penyimpan karbon tertinggi di dunia. Seluruh lahan gambut di Indonesia diperkirakan memiliki cadangan karbon sebesar 46 gigaton atau 8-14 persen dari cadangan karbon gambut dunia. Setara dengan 31 persen dari total cadangan karbon di lahan gambut tropis di dunia.
Terkait keanekaragaman hayati (biodiversitas), gambut tak kalah pentingnya. Dari sekitar 258.650 spesies pohon tinggi di dunia sekitar 35.000 – 40.000 spesies atau 13 -14 persennya terdapat di ekosistem gambut Indonesia.
Kalimantan sebagai pusat keanekaragaman hayati ekosistem gambut. Keanekaragaman flora tertinggi berada di ekosistem gambut Kalimantan Tengah, tepatnya di Tanan Nasional Sebangau, yang mencapai 808 spesies. Menyusul Sumatra di Taman Nasional Berbak yang memiliki lebih dari 261 jenis flora.
Kedua, nilai ekonomi. Sampai saat ini yang paling dominan pemanfaatan ekosistem lahan gambut dikonversi untuk tanaman pangan, perkebunan dan hutan tanaman.
Konversi yang eksploitatif telah menyebabkan ekosistem gambut terdegradasi. Terutama saat pemanfaatan hasil hutan gambut yang berlebihan, food estate dan pembukaan lahan gambut untuk sawit.
Seiring menguatnya pengarusutamaan isu perubahan iklim dalam berbagai lini, Indonesia pun kini melakukan tata kelola keberlanjutan ekologis lahan gambut.
Ekosistem gambut yang bernilai ekonomi tinggi untuk jenis kayu di antaranya ramin, pulai, terantang, geronggang, punak, bintangur, balam, nyatoh dan jelutung.
Lahan gambut juga merupakan habitat ikan air tawar yang sangat potensial dikembangkan seperti gabus, toman, jelawat dan tapah.
Pemanfaatan lahan gambut yang lestari dan mengutamakan keberlanjutan sejauh ini baru dua pola yaitu paludikultur dan ekoturisme.
Paludikuktur yaitu praktik budidaya di lahan gambut yang menggabungkan berbagai kegiatan seperti budidaya tanaman, ikan dan ternak. Sedangkan ekoturisme adalah wisata lahan gambut termasuk di dalamnya ada unsur edukasi.
Ketiga, nilai sosial. Ekosistem gambut tak bisa dilepaskan dari peran dan intervensi masyarakat di sekitarnya. Masyarakat juga banyak tergantung pada ekosistem gambut.
Namun, sejarah mencatat ketika eksploitasi ekosistem gambut tidak seimbang dengan kelestariannya lambat-laun terdegradasi.
Ketika masyarakat mengolah lahan ekosistem gambut secara alami seperti untuk menanam padi, ubi, jagung, talas, kacang panjang, terung, mentimun, kopi, jeruk, nanas dan tanaman obat-obatan, ekosistem tak banyak terganggu. Namun, ketika industri masuk secara masif lewat hak guna usaha (HGU), hak pengusahaan hutan (HPH) dan hutan tanaman industri (HTI) maka keseimbangan ekosistem gambut menjadi rusak.
Fungsi hidrologis ekosistem gambut terganggu. Lahan gambut menjadi kering dan mudah terbakar. Kebakaran ini lebih banyak di lokasi HGU, HPH dan HTI. Sementara ekosistem gambut yang menjadi gantungan hidup masyarakat di sekitar 6.000 desa selalu kena imbasnya.
Permasalahan Ekosistem Gambut
Keseimbangan ekosistem lahan gambut mulai terganggu sejak zaman Orde Baru ketika pembangunan berbasis pertumbuhan ekonomi semakin masif. Lahan dan hutan termasuk gambut banyak terlikuidasi menjadi lahan HGU, HPH dan HTI atasnama pertumbuhan ekonomi. Saat itu dunia pun belum bicara tentang iklim dan ekonomi hijau karena masing-masing negara sibuk mengejar pertumbuhan dan kesejahteraan.
Lahan gambut terutama di Indonesia telanjur rusak sebagian besar lantaran kegiatan ekonomi korporasi berbasis HGU, HTI dan HPH juga food estate.
Secara ringkas, permasalahan ekosistem gambut dapat dikelompokan ke dalam tiga isu utama yaitu trade off, kompleksitas, ketidakpastian dan tata kelola.
Pertama, trade off. Istilah trade off ini bila disederhanakan adalah simalakama. Keharusan untuk memilih dengan mengorbankan yang lain. Dan demi pertumbuhan ekonomi yang dikorbankan salah satunya adalah ekosistem gambut. Pilihannya lahan gambut dimanfaatkan atau dijaga?
Bila dimanfaatkan maka angka kemiskinan menurun, lapangan kerja terbuka lebar, meningkatkan nilai tambah dan devisa negara juga meningkat.
Konsekuensinya pelepasan karbon meningkat, stabilitas hidrologi terganggu dan pelestarian keragaman hayati terganggu.
Keduanya diperhadapkan. Kini dampaknya bukan hanya masyarakat yang merasakan, Indonesia dan dunia pun kena getahnya. Pemanasan global sangat mengkhawatirkan yang dampaknya tidak hanya kepada kesehatan tetapi juga sampai kepada krisis pangan.
Kedua, kompleksitas. Pengelolaan ekosistem gambut di Indonesia melibatkan banyak lembaga sektoral. Dari mulai lingkungan hidup, kehutanan, pertanian, pekerjaan umum dan pemerintah daerah. Setiap kementerian dan lembaga ini memiliki prioritas dan egosektoral masing-masing dan sulit disinkronkan.
Akibatnya penanganan ekosistem gambut tak pernah paripurna melainkan parsial dan tambal sulam. Apalagi sampai saat ini kepentingan industri dan korporasi selalu mendominasi memanfaatkan kewenangan masing-masing kementerian dan lembaga.
Korporasi sangat superior karena mereka dapat menggunakan pengaruhnya untuk menguasai kapital, hukum dan politik.
Ketiga, ketidakpastian. Ketidakpastian ini menggambarkan munculnya kebijakan nasional dan perkembangan di dunia sehingga para pemangku kepentingan di bawahnya tidak berdaya.
Ketidakpastian itu bisa karena politik, pasar global serta berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek).
Dalam bidang politik misalnya Pemerintah Pusat mengeluarkan kebijakan satu juta hektare sawah di lahan gambut. Para pemangku kepentingan di bawahnya tidak kuasa menolak karena itu keputusan politik.
Kemudian terkait pasar dunia misalnya ketika harga dan permintaan minyak sawit mentaj (CPO) dunia meningkat maka mendorong korporasi pun memperluas lahan dan Pemerintah pun memberikan izin karena akan berdampak pada penerimaan keuangan negara. Lagi-lagi pilihannya adalah ekosistem gambut.
Sedangkan terkait Iptek sampai saat ini para ahli pun masih belum satu frekuensi dalam menentukan metode yang efektif dan efisien untuk mendapatkan data karakteristik ekosistem gambat. Sejauh ini masih saja terjadi perdebatan dan belum mengarah pada satu konklusi. Perbedaan ini tentu saja selaku akan melahirkan dualisme yang berbenturan bukan saling menggenapkan.
Metode saja masih bermasalah apalagi dalam cara pemanfaatan dan pendayagunaan ekosistem gambut secara berkelanjutan. Antara aspek ekonomi dan kelestarian selalu berbenturan. Apalagi keberlanjutan dan kelestarian baru dirasakan 20 atau 30 tahun ke depan. Sementara penguasa, pengusaha dan politisi ingin hasil cepat dan kalau bisa tidak lebih dari lima tahun.
Keempat, tata kelola. Dari segala permasalahan yang muncul terkait isu lahan sampai ke ekosistem gambat utamanya adalah terkait transparansi (good governance).
Pemerintah dan legislatif memiliki kekuasaan yang powerfull dalam melahirkan kebijakan. Legislatif dan Pemerintah lebih banyak berpihak kepada korporasi tanpa memikirkan dampak negatif serta mekanisme kontrol yang kuat. Korporasi kadang menguasai ekosistem gambut di luar mekanisme izin dan menganggu lahan masyarakat atau sampai merambah milik negara.
Ekosistem Gambut dan Perubahan Iklim
Ekosistem gambut dunia yang hanya 3 persen dari total luas daratan bumi ternyata dapat menyerap dan menyimpan 550 gigaton karbon. Dan Indonesia yang memiliki luas ekosistem gambut terbesar keempat dunia dapat menyerap dan menyimpan 46 gigaton karbon. Sementara kebakaran yang terjadi di ekosistem gambut menyebabkan katbon terbuang ke atmosfer mencapai 520 juta ton karbon.
Pelepasan karbon ini tentu angkanya bertambah terus seiring masifnya konversi ekosistem gambut tidak adanya keseimbangan karbon lantaran terhentinya suplai bahan organik dari tanaman di atasnya.
Di sisi lain Indonesia juga terikat dengan Perjanjian Paris terkait perubahan iklim yang diimplementasikan dalam bentuk Enhanced Nationally Determined Contribution (ENDC).
Target penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) Indonesia dengan kemampuan sendiri pada Updated NDC (UNDC) sebesar 29 persen meningkat ke 31,89 persen pada ENDC. Sedangkan target dengan dukungan internasional pada UNDC sebesar 41 persen meningkat ke 43,20 persen.
Komitmen Indonesia ini untuk menekan suhu global dari ambang batas tidak lebih dari 1,5 derajat Celcius diimplementasikan juga dalam Indonesia’s FOLU Net Sink 2030. Artinya emisi dari sektor kehutanan dan lahan (FOLU) akan mencapai net sink pada tahun 2030. Atau tercapainya tingkat emisi gas rumah kaca sebesar minus 140 juta ton CO2e pada tahun 2030.
Kepedulian Presiden
Presiden Joko Widodo (Jokowi) selama masa jabatannya telah menunjukkan perhatian terhadap isu lingkungan, termasuk ekosistem gambut. Pada tahun 2015, ia meluncurkan Rencana Aksi Nasional Penanganan Gambut menyikapi kebakaran hutan dan lahan gambut yang tidak terkendali. Rencana tersebut bertujuan untuk mengurangi risiko kebakaran dan mengelola ekosistem gambut secara berkelanjutan.
Presiden Jokowi juga mempromosikan program restorasi gambut, termasuk upaya untuk mengembalikan fungsi ekosistem gambut yang rusak dan mengurangi dampak perubahan iklim hingga terbentuknya Badan Restorasi Gambut dan kemudian berkembang menjadi Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM).
Presiden terpilih pada 2024 diharapkan tidak hanya melanjutkan tetapi juga memperkuat kewenangan dan aksi-aksi BRGM. Saya percaya Anies pun bila ditakdirkan menjadi Presiden bakal memberikan perhatian serius pada penanganan ekosistem gambut.
Anies tidak mau Indonesia dan kota-kota besar lainnya seperti Jakarta yang ditinggalkannya sekarang justru dikepung polusi. Selain karena polusi kendaraan bermotor juga karena alam sudah kewalahan untuk menyerap dan menyimpan karbon.