BAGI Indonesia, ternyata lebih mudah membangun daripada mencegah kerusakan. Itulah sebabnya berdiri pabrik semen di pegunungan Kendeng yang jelas-jelas merusak ekosistem. Itulah sebabnya ketika pemerintah provinsi Jawa Tengah kalah di pengadilan, dengan mudah menerbitkan izin baru sebagai pengganti izin yang telah usai dan dianulir pengadilan.
Itu juga yang menyebabkan kasus Wadas Purworejo mengulang kesalahan yang sama dengan kasus Kendeng. Lalu dengan mudah pejabatnya bilang bahwa masalah sudah selesai.
“Itu kan si x sudah terima sekian milyar sebagai ganti rugi, dan masalah selesai,” kata si pejabat.
Jadi kerusakan lingkungan, protes masyarakat atau gerakan melindungi alam ternyata dianggap selesai ketika sudah ada yang keluar uang.
Fakta-fakta tersebut bisa menjadi multitafsir. Saya sendiri memilih tafsir bahwa pemerintah Indonesia memang gemar membangun. Semiskin apapun selalu bersemangat ketika diajak membangun dan tak bersemangat ketika diajak mencegah kerusakan.
Lebih suka menambal jalan yang bolong daripada mencegah munculnya lobang di jalan akibat penggalian pipa air minum, penanaman serat optik internet dan sejenisnya. Lebih mudah menganggarkan pembelian lampu-lampu taman yang baru untuk mengganti yang pecah akibat keisengan daripada mencari pemecahnya.
Lalu kembali kesalahan-kesalahan itu berulang. Seperti konflik di Pulau Rempang. Tentu sebenarnya bukan hanya masalah relokasi. Ada banyak masalah sosial di dalamnya.
Pemerintah yang tak memanusiakan warga dan tak mengajak berdialog namun tiba-tiba mengumumkan bahwa Pulau Rempang harus dikosongkan maksimal tanggal 28 September 2023. Ini satu contoh.
Contoh lain, ada juga masalah masyarakat Rempang yang benar-benar menjaga ikatan masa lalu kesejarahan namun tiba-tiba direnggut. Belum lagi perampasan hak asasi anak-anak karena sekolah ditutup sebagai strategi menekan.
Yang kasat mata, teror dan kekerasan fisik. Bagaimana warga yang protes karena mempertahankan hak, ditangkap, disuruh buka baju seperti seorang kriminal. Bahkan terhadap koruptor saja polisi tak berani seperti itu
Lalu bagaimana jalan pikiran pemerintah?
Jalan pikiran dalam memecahkan masalah tampaknya memang lebih suka “berpikir ke depan” katimbang mengusut hal-hal yang ada di belakang. Maka jika publik mempersoalkan tempat tinggal mereka, seorang menteri dengan enteng akan berkata, “Sudahlah. Kita akan menyediakan rumah pengganti, tak usah dibesar-besarkan.”
Jika yang dipersoalkan adalah tanah itu sudah ratusan tahun dibuka oleh nenek moyang, dengan enteng menteri yang lain akan berkata. “Itu tanah kan memang sudah dibagikan pemerintah kepada para investor. Apalagi warga yang bermukim tak punya dokumen kepemilikan.”
Menteri ini seperti lupa ada yang namanya sosiologi hukum, seperti tidak paham jika yang berwenang menerbitkan dokumen adalah pemerintah. Ketika hal ini ditanyakan maka jawaban akan makin enteng. “Sudahlah. Itu investor juga sudah berbaik hati menyediakan lahan pengganti. Mari kita berpikir saja soal masa depan.”
Pemerintah akhirnya seperti peserta reality show “uang kaget”. Dalam reality show itu, seorang yang miskin diberi segepok uang dan diharuskan menghabiskan dalam durasi waktu tertentu. Maka ia akan kalap membelanjakan uangnya agar habis dan bisa menguasai seluruh duit yang dipegangnya. Seperti kanalisasi keserakahan.
Akibatnya kebijakan menjadi memprogram warga negara untuk hanya bisa bergerak maju dan berpikiran maju. Artinya, jika seorang pejabat tengah berkuasa, yang menyita pikirannya bukan program pembangunan secara terpadu, melainkan pembangunan menurut kepentinganku dan mumpung masih dalam periodeku. Soal kerepotan periode di belakangku bukan urusanku. Maka wajar jika hasil pembangunan bisa demikian ruwet.
Ada cukup bukti tentang kebijakan yang terbukti keliru. Ada tempat lapangan sepakbola yang dibuat hanya untuk menjadi Padang alang-alang. Ada sungai yang direkayasa alurnya hanya untuk memindahkan banjir. Banyak bukit-bukit dikepras agar dataran tak lagi memiliki tekstur tanah.
Ada pelabuhan, bandara, terminal yang dibangun hanya untuk tidak berfungsi. Ada pos polisi yang mengangkangi trotoar yang sebenarnya hak pejalan kaki. Ada tanah lapang tempat anak-anak bergembira dijual dan dijadikan bangunan.
Lalu soal Pulau Rempang, ada masyarakat diusir, hutan dibabat hanya agar tanah dan kandungan di dalamnya bisa dikuasai teman atau kolega sang pejabat saat mencalonkan diri jadi pemimpin dulu.
Itulah indikasi betapa pemerintah bersemangat memikirkan masa depan: masa depan kita sendiri. Semangat yang akhirnya menular ke warga negara.
Meluber ke massa pendukung politisi yang bisa seenaknya mempersekusi pengritik tokohnya. Meluber ke pedagang kaki lima yang menginvasi trotoar. Menular ke satpol PP yang memilih menerima setoran dari para PKL ketimbang menertibkan.
Lalu menular ke pengusaha raksasa yang memilih menyogok sang pejabat agar bisa menguasai berbagai sektor yang bisa dibisniskan
Lalu ketika semua rusak, semua merasa tak ada yang aneh karena semua ikut merusak.
Warga Pulau Rempang yang mencoba waras dan tak ikut merusak, akhirnya dibenturkan dengan saudara mereka sendiri yang berada dalam lembaga adat, yang berada dalam lembaga negara, lembaga hukum.
Prakteknya warga berhadapan dengan warga lain dalam tugas berbeda, namun secara hukum menjadi warga berhadapan dengan lembaga.
Sejarah kepahlawanan Hang Tuah yang akhirnya membuahkan hasil bahwa Bahasa Melayu menjadi Bahasa Nasional. Ada lagi keikhlasan Sultan Syarif Kasim II yang memilih bergabung dengan Indonesia dan menyumbang sekitar 100 Trilyun Rupiah (konversi saat ini) serta mengajak kesultanan Melayu lain untuk memperkuat Indonesia.
Kepahlawanan tokoh itu menjadi sia-sia ketika pemerintah dengan sangat mengagumkan mengabaikan masa silam. Dunia hukum kita menjadi terkenal sangat lambat karena hukum memang selalu mengurus masa silam. Pengggerak hukum semacam itu logis jika kehilangan interes karena pikirannya memang selalu tersita ke masa depan: masa depannya sendiri. Akibatnya ada pemutus keadilan malah bisa ganti diadili, diusut kekayaannya, terancam dipecat atau minimal dimutasi karena diduga melakukan perbuatan tercela.
Kosa kata “sendiri” dari mulut seorang menteri ketika ngomong “Warga Rempang dan Indonesia akan rugi sendiri jika investor membatalkan investasinya,” itu begitu hebat perannya hingga bisa membuat orang lain tidak ada dan kepentingan orang lain boleh dirusak begitu saja. Selamat datang di era Oligarki Menagih Janji. Semua harus lunas sebelum ganti Presiden. Karena yang berutang dan berjanji adalah……anu. [Luk]