Scroll untuk baca artikel
Kolom

Mbah Dukuh Teladanku Sebagai Islam yang Hidup

Redaksi
×

Mbah Dukuh Teladanku Sebagai Islam yang Hidup

Sebarkan artikel ini

Aku sempat tidak habis mengerti tentang seberapa besar energi yang dimiliki mbah. Tak pernah pula mengalami sakit serius. Paling hanya sesekali masuk angin atau gejala flu dan batuk.

Hampir tiap hari menyempatkan diri ngobrol dengan kami, terutama Ety. Interaksi itu berlangsung alamiah, karena kami satu rumah. Bahkan satu dapur dan kamar mandi, hanya berbeda kamar tidur. Kami tak pernah merasa diperlakukan sebagai penyewa rumah, melainkan sebagai cucunya.

Sejak Ira anak pertama kami lahir, mbah Pandean menjadi bertambah kegiatannya. Beliau selalu membantu mengurusi bayi kami. Hampir tiap hari memasakkan air panas untuk mandi, menggendong Ira dan membawanya jalan-jalan melihat sawah. Jika kami telat menyediakan bubur, maka beliau membeli dengan uangnya sendiri.

Mbah berinteraksi pula dengan banyak kawan yang bertandang ke rumah. Salah satu kegiatan rutin dahulu memberi kajian semacam perkuliahan bagi kawan-kawan muda berbagai perguruan tinggi. Sebagian mereka menginap untuk lanjut kajian pagi. Otomatis, banyak dari mereka mengenal mbah.

Komunikasi dengan mbah hanya bisa dalam bahasa Jawa, karena tidak bisa berbahasa Indonesia. Soalan bahasa ini, tak pernah menjadi kendala serius dalam bercengkerama dengannya.

Ada satu hal yang menarik perhatianku. Kami tak pernah dengar beliau membaca Qur’an, dan kemungkinan besar memang tidak bisa. Huruf latin sudah pasti tidak bisa, karena tiap mendapat surat atau semacamnya, minta dibacakan.

Sudah bisa dipastikan bahwa semua penduduk dusun mengenalnya. Beliau selalu disapa yang lewat. Dipanggil orang-orang sebagai mbah dukuh, sebagai penghormatan sejak suaminya masih pak dukuh atau kepala dusun. Kami tetap memanggilnya, mbah Pandean.

Kesukaan lain dari Mbah Pandean adalah memanggil anak-anak kecil untuk mendekat padanya. Diajak berbincang sebentar dalam bahasa Jawa. Anak-anak itu dielus kepalanya, kemudian dikasih uang jajan yang selalu beliau sediakan.

Beliau sempat kami ajak ke Jakarta, rumah orang tua Ety. Kami pun masih suka bertandang ketika sudah tidak tinggal di rumahnya lagi. Beliau sempat mengenal Adli, anak kedua kami. Mbah Pandean meninggal dalam rusia sekitar 90 tahun.

Hingga saat ini, aku masih suka terbayang senyumnya yang menyejukan hati, serta tawanya yang begitu renyah.

Sungguh anugerah ilahi yang teramat besar buat aku dan Ety. Dua setengah tahun pada awal pernikahan kami, hidup bersama dan belajar dari praktik Islam yang hidup. Segala kebaikan mawujud dalam keseharian Mbah Pandean.

Pandanganku sebagai ekonom jalanan kini pun sangat dipengaruhi oleh masa hidup di dusun itu. Melihat petani dan pertanian sehari-hari. Mbah Pandean dikirim Allah untuk membantuku menjadi manusia utuh. Beliau merupakan salah satu teladan utama hidupku. [rif]