Risiko kematian ibu tertinggi terjadi pada remaja perempuan di bawah usia 15 tahun dan komplikasi kehamilan merupakan penyebab utama kematian di negara berkembang.
BARISAN.CO – Berdasarkan laporan “Profil Perempuan Indonesia 2022”, lima provinsi dengan persentase penduduk perempuan yang pernah menikah ketika usia di bawah 17 tahun adalah Kalimantan Selatan (32,80%), Jawa Barat (30,63%), Jawa Timur (30,54%), Kalimantan Tengah (28,37%), dan Jawa Tengah (27,45%).
Sementara, secara nasional, persentase penduduk perempuan yang pernah menikah saat usianya di bawah 17 tahun sebanyak 23,95%.
Perkawinan anak menghalangi kemajuan Tujuan Global 2030. Selama perkawinan anak masih ada, maka kemiskinan dan ketidakstabilan, kekerasan terhadap anak perempuan, angka kematian ibu yang tinggi, dan kesenjangan pendidikan semakin melebar antara negara termiskin dan terkaya akan tetap terjadi.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 telah menyebutkan, melarang warga negara Indonesia untuk melakukan perkawinan di bawah umur. Sementara, dalam UU Nomor 16 Tahun 2019 disebutkan, batas usia minimal laki-laki dan perempuan untuk menikah ialah 19 tahun.
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) menyatakan, target angka pencegahan pernikahan usia anak sesuai Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) 2020-2024 sebesar 8,06% sudah tercapai, seperti dikutip dari Antara.
Akan tetapi, masih ada perkawinan anak yang tidak tercatat.
Bappenas menyampaikan, data 2022 menunjukkan, sekitar 330.000 anak dan remaja menikah. Namun, data dispensasi pernikahan yang tercatat di Badan Pengadilan Mahkamah Agung hanya sekitar 52.000.
Selain itu, pemerintah juga memiliki komitmen global untuk menekan angka pernikahan anak sesuai target SDGs (Tujuan Pembangunan Berkelanjutan) sebesar 6,94%.
Studi Save the Children menemukan, lebih dari 22.000 anak perempuan setiap tahunnya meninggal karena kehamilan dan persalinan akibat pernikahan anak.
Inger Ashing, CEO Save the Children mengatakan, pernikahan anak adalah salah satu bentuk kekerasan seksual dan gender yang terburuk dan paling mematikan bagi anak perempuan.
Setiap tahun, jutaan anak perempuan dipaksa menikah dengan laki-laki yang umumnya jauh lebih tua, merenggut kesempatan untuk terus belajar, menjadi anak-anak, dan dalam banyak kasus untuk bertahan hidup.
“Melahirkan adalah pembunuh nomor satu remaja perempuan karena tubuh mereka tidak siap untuk melahirkan anak. Risiko kesehatan anak-anak yang memiliki anak tidak bisa dan tidak boleh diabaikan,” kata Inger.
Menurutnya, pemerintah harus memprioritaskan anak perempuan dan memastikan mereka dilindungi dari pernikahan anak serta kematian terkait persalinan prematur.
“Ini hanya dapat terjadi jika anak perempuan memiliki suara dalam keputusan yang memengaruhi (hidup) mereka,” tambahnya.
Ketika anak perempuan hamil sebelum tubuhnya siap, mereka berisiko tinggi mengalami komplikasi selama masa kehamilan dan persalinan, yang bukan hanya akan membahayakan nyawanya, namun juga anaknya.
Risiko kematian ibu tertinggi terjadi pada remaja perempuan di bawah usia 15 tahun dan komplikasi kehamilan merupakan penyebab utama kematian di negara berkembang.
Di sisi lain, penyintas trauma persalinan prematur berisiko mengalami komplikasi kesehatan jangka panjang, sehingga membuat mereka mengorbankan kembali bekerja atau sekolah, sedangkan sistem kesehatan juga kekurangan sumber daya.
Remaja perempuan secara tidak proporsional juga terpengaruh oleh HIV. Remaja perempuan yang menikah dengan laki-laki yang telah memiliki banyak pasangan seksual sebelumnya bahkan lebih mungkin tertular HIV karena kurangnya informasi kesehatan seksual dan reproduksi serta kurang kuatnya menegosiasikan seks aman atau menolaknya.
Anak yatim dan anak perempan yang dikepalai anak berisiko lebih tinggi mengalami pernikahan diri karena mereka berjuang untuk menghidupi dirinya sendiri. Dalam situasi putus asa ini, ketika mereka tidak mampu membeli makanan atau tempat tinggal, apalagi biaya sekolah, pernikahan diri terkadang dianggap satu-satunya cara untuk bertahan hidup.