Masyarakat adat Melayu Rempang sudah mendiami tanahnya sejak 200 tahun lalu. Dua abad. Sementara umur Indonesia baru 78 tahun.
UNI Eropa memiliki bahasa nasional sebanyak 21 bahasa. Mereka tidak bisa menyepakati satu bahasa resmi untuk komunitas mereka. Karena itu semua dokumen terkait Uni Eropa dan juga saat menggelar acara resmi, interpreter pun sibuk untuk mewakili 21 bahasa sehingga bisa dipahami semua delegasi. Ribet!
Tapi coba merenung sedikit terutama untuk para elite negeri ini yang egois dan keras kepala plus tuna sejarah. Indonesia punya 733 bahasa daerah. Catat ya!
Bisa dibayangkan sendainya Indonesia yang belum lahir pada 1928 dan para pendiri bangsa ini ngotot dengan ego mereka masing-masing. Bisa saja mereka menginginkan bahasa Jawa yang digunakan. Atau bahasa Sunda. Juga mungkin Minang, Bugis, Batak dan lainnya. Tapi itu tidak terjadi.
Saya tak bisa membayangkan bila mereka ngotot dengan primordialismenya masing-masing maka bahasa nasional menggunakan 733 bahasa dan dokumen resmi negara semuanya diterjemahkan sebanyak itu.
Tapi pemuda saat itu sepakat bahasa persatuan yang digunakan berakar dari bahasa Melayu, lingua franca. Ingat baik-baik, bahasa Melayu! Saat itu bahasa Melayu sudah sangat maju karena digunakan dalam dunia perdagangan dan digunakan dalam karya sastra.
Melayu Terusik
Pulau Rempang adalah bangsa Melayu. Ketika mereka diusik atau terluka, maka bangsa Melayu di pulau lainnya bahkan di Malaysia, Singapura, Brunei dan Filipina pun merasa terluka.
Akibat dari kebijakan investasi dengan dalih proyek strategis nasional (PSN) yang menjadi kebanggan Presiden Jokowi, masyarakat Melayu yang tadinya hidup tenang tiba-tiba diusir dari tempat yang diwariskan nenek moyangnya.
Pemerintah lupa mereka itu adalah bangsa yang berjasa untuk negeri ini. Mereka adalah pewaris yang sah dan telah memberikan saham nyawa dan budaya adiluhungnya untuk Indonesia, bahasa persatuan.
Mereka adalah keturunan pejuang yang ikut memerdekakan Indonesia dari kolonialisme. Mereka juga sumbang bahasa untuk Indonesia. Lalu dengan pongahnya Pemerintah mengusir mereka demi investasi.
Padahal investasi itu justru harus mensejahterakan masyarakat dan rakyat Indonesia. Kalau investasi merusak lingkungan, budaya dan mengusir masyarakat adat, justru itu bencana.
Indonesia Itu Tamu
Lalu dengan mudahnya Pemerintah akan merelokasi mereka ke tempat baru dengan dalih investasi senilai Rp381 triliun. Padahal mereka itu adalah hidup di pesisir dan budaya laut. Mereka mata pencaharianya di pantai dan di laut. Lalu mau dipindahkan ke darat atau ke lokasi lain.
Justru relokasi seperti itu malah akan membuat mereka tercerabut dari budaya dan mata pencahariannya. Mereka dipindah ke daratan mau jadi apa. Bila dipindahkan ke pantai lain, mereka pun harus belajar dan adaptasi lagi dari awal. Relokasi semacam ini hanya memiskinkan mereka.
Sungguh disayangkan para elite negeri ini, malah ramai-ramai menyalahkan masyarakat Melayu Rempang demi Rempang Eco City.
Mereka dituduh tidak memiliki sertifikat. Padahal mereka itu justru harus menjadi sasaran sertifikasi lahan Presiden Jokowi, bukan malah digusur.
Pejabat lainnya yang terlihat frustrasi sibuk menyalahkan asing. Dalihnya asing ada yang cemburu bila investasi besar masuk ke Indonesia. Tuduhan yang absurd.
Ya, masyarakat adat Melayu Rempang sudah mendiami tanahnya sejak 200 tahun lalu. Dua abad. Sementara umur Indonesia baru 78 tahun.
Sepertinya, Indonesia yang tidak membayar paten bahasa Melayu, pantas berjuluk pendatang atau migran yang ngelunjak.