DULKAMNDI termangu-mangu membayangkan deretan angka nol yang seolah tak ada putusnya sama sekali. Berkali-kali pula ia membetulkan letak kacamatanya agar dapat menghitung jumlah angka tersebut dengan pasti.
Namun begitu semakin ia berusaha keras untuk menghitung deretan angka-angka tersebut, sebanyak itu pula angka-angka itu seperti meloncat-loncat ke sana ke mari tak karuan. Mungkin saja saking banyaknya hingga membuat mata tua Dulkamdi seperti kehilangan fokus.
Akhirnya, diletakkannya koran yang barusan dibacanya tersebut diantara gelas kopi dan piring berisi kimpul rebus kelangenannya. Rupanya ia telah menyerah. Berkali-kali ia menggeleng-gelengkan kepalanya. Otak pensiunan guru SD inpres itu seperti penuh sesak oleh pertanyaan “njur dienggo apa bae duite kuwi?” dengan logat Banyumasannya yang super medhok.
Head line koran pagi itu memuat berita tentang 9 orang terkaya di Indonesia yang oleh koran pagi itu dijuluki dengan istilah 9 Naga. Julukan yang bukan hanya memberi kesan angker tapi sekaligus agak gimana gitu. Di bawah berita headline tersebut diberitakan pula korupsi yang melibatkan pejabat setingkat menteri. Yang angkanya tak kalah fantastisnya.
Sementara itu di halaman berikutnya dimuat pula laporan tentang angka kemiskinan yang belum menggeliat turun akibat masih terdampak bencana Corona dan tentu saja karena kekhawatiran resesi dunia akibat polah rusia, Somalia dan ketegangan one contry two system. Dan lelaki tua itu semakin bergidik ketika ia membaca angka stunting yang masih sedemikian besarnya. Apalagi berita tentang cawe-cawenya si petugas anu itu dalam skenario pilpres.
Entah darimana datangnya, tiba-tiba saja lelaki Pensiunan guru mata pelajaran ‘Pendidikan Moral Pancasila’ pada masa ORBA itu jadi teringat sila ke 5 Pancasila yang berbunyi : Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. “Seperti inikah wajah sila ke 5 saat ini?” gumamnya tipis.
Sekali lagi ia menggelengkan kepalanya dan lalu disusul dengan menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Dan sebagaimana pertanyaannya pagi kemarin, tentu saja Dulkamndi tak menemukan jawabannya sama sekali. Belum habis keheranannya, lelaki asal Cilongok itu teringat pula pada harlah Pancasila yang diisi pidato dari seorang petugas apa gitu.
Kata petugas itu pula kita harus menggenggam erat wejangan tri sakti Bung Karno yang salah satunya adalah berdikari di bidang ekonomi. Mengingat wajah petugas itu, Dulkamdi lalu menghela nafas panjang lalu disusul dengan nyengir kuda. Entah apa maksud Dulkamdi dengan nyengir kuda tersebut.
Tak berapa lama, Dulkamndi lantas bangkit dari duduknya dan berjalan masuk sebentar ke ruang tamu rumahnya. Sejurus kemudian ia telah keluar membawa sebuah buku setebal 5 Cm-an. Warna kertasnya sudah agak kecoklatan. Namun begitu tak sedikitpun tampak debu menempel baik di sampulnya maupun lembar halaman dalamnya.
Dibacanya sebuah alinea dengan seksama. Kerutan di keningnya menandakan kesriusannya dalam memahami kalimat demi kalimat yang diejanya tersebut.
“Kesejahteraan adalah kemampuan membeli barang dan jasa yang dibutuhkan oleh seseorang,”begitulah bunyi salah satu kalimat yang dibaca oleh Dulkamndi.