Oleh: Achmad Fachrudin, Ketua Prodi Komunikasi dan Penyiaran Islam Universitas PTIQ
Freek Colombijn dan J. Thomas Linbald, penyunting buku “Roots of Violence in Indonesia” menyebut Indonesia “is a Violent Country” (Indonesia negara kekerasan). Kekerasan sudah terjadi sejak masa kolonial, masa orde baru hingga era reformasi. Kemudian merambah berbagai aspek kehidupan, termasuk kampus umum maupun agama. Bahkan terus mengalami reproduksi dengan berbagai varian karakteristiknya, baik yang terlihat di permukaan maupun yang di bawah permukaan. Padahal Al-Qur’an sebagai pedoman kehidupan (way of life) dan sumber pengetahuan keilmuwan serta perilaku aktivis kampus agama (Islam) mengirim begitu banyak pesan-pesan perdamaian (peace) yang harus dipelihara, dikembangkan dan dilaksanakan.
Kekerasan, dalam bahasa Latin disebut violentia, dalam bahasa Inggris disebut dengan violence dan bahasa Arab disebut dengan assyiddah atau anfu. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kekerasan diartikan perbuatan seseorang atau kelompok orang yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain. Sedangkan New Oxford Dictionary mendefinisikan kekerasan sebagai: “behaviour involving physical force intended to hurt, damage, or kill someone or something”.
Johan Galtung seorang sosiolog dan matematikawan asal Norwegia serta pendiri dari Peace Research Institute Oslo (PRIO) yang terkenal dengan teori ketergantungan (dependensi) khususnya terkait dengan imperialisme struktural, membagi kekerasan menjadi tiga bentuk, yakni: pertama, kekerasan langsung (direct violence), merupakan bentukan kekerasan yang dilakukan oleh aktor tersebut. Kekerasan ini dapat menyasar pisik dimana ada pelaku dan korban. Contohnya, penyiksaan, pembunuhan, pengeroyokan, penganiyaan fisik maupun mental, penghinaan, diskriminasi personal, bullying, dan sebagainya.
Kedua, kekerasan struktural (structural violence). Kekerasan struktural dimaknai sebagai kekerasan yang memanfaatkan sistem hukum, ekonomi, politik atau norma-norma. Kekerasan ini bisa dilakukan oleh negara maupun non negara. Kekerasan bentuk ini antara lain ketidakadilan sosial, politik, ekonomi ataupun sebuah struktur yang mengusung hal tersebut. Contoh model kekerasan struktural adalah ketimpangan pendapatan antar kelompok dalam suatu negara, ketidaksamaan akses terhadap pendidikan, perbedaan dalam perlakuan hukum terhadap orang yang bersalah atau istilahnya hukum tajam keatas namun tumpul ke bawah, dan sebagainya.
Kekerasan Kultural dan Simbolik
Model kekerasan lainnya atau ketiga disebut dengan kekerasan kultural atau simbolik (cultural atau symbolic violence). Model kekerasan ini merupakan bercorak kebudayaan masyarakat yang aktualisasinya dengan cara membiarkan atau mendukung terjadinya dua model kekerasan sebelumnya (direct & structural). Kekerasan budaya dapat terjadi sebagai akibat dari hegemoni budaya tertentu terhadap budaya budaya lain sehingga termarjinalisasi, teralienasi atau disfungsional. Contohnya rasisme, sexisme, fasisme, feodalisme, nepotisme, homophobia, dan lain-lain.
Dari sisi pelaku (actor), kekerasan dapat dilakukan oleh individu dengan menggunakan fisik, verbal, dan psikologis dalam lingkup lingkungannya. Kekerasan individu dapat dilakukan oleh siapa saja, tetapi pada umumnya dengan menggunakan teori independensi Johan Galtung, dilakukan oleh aktor atau pelaku yang memiliki kekuasaan, baik dari sisi status, wewenang, jabatan, ekonomi, pisik, dan sebagainya. Makin tinggi kekuasaan seseorang, meminjam pendapat Lord Acton, berpeluang besar untuk melakukan kekerasan kepada lawan atau kompetitornya untuk mempertahankan hegemoni kekuasaan.
Kekerasan kolektif merupakan bentuk lain dari kekerasan yang acapkali terjadi. Max Weber mendefinisikan kekerasan kolektif sebagai “monopoli, legitimasi untuk melakukan kekerasan secara sah” yakni: dengan alasan untuk melaksanakan putusan pengadilan, menjaga ketertiban umum atau dalam keadaan perang. Kekerasan kolektif dapat berubah menjadi perbuatan terorisme yang dilakukan oleh negara atau kelompok yang dapat menjadi salah satu bentuk kekerasan ekstrem (contohnya genosida) atau penggunaan kekuatan militer terhadap kelompok-kelompok radikal atau kriminal yang dianggap membahayakan negara tanpa proses hukum yang adil, transparan dan akuntabel.
Selain negara, kelompok-kelompok sosial dan sipil non negara dapat melakukan kekerasan; baik secara kasar (hard) maupun lunak (soft). Seperti terjadi di lingkungan Organisasi Partai politik, Organisasi Kemasyarakatan, Organisasi Kepemudaan, Organisasi Keagamaan, dan sebagainya. Kekerasan bisa terjadi pada organisasi formal yakni: organisasi yang memiliki AD/ART dan payung hukum dari Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM), maupun organisasi informal atau bawah tanah. Seperti organisasi para pelaku kriminalitas, gengster, mafia, teroris, dan sebagainya.
Kekerasan juga dapat terjadi di kalangan organisasi internal kampus; apakah itu di perguruan tinggi negeri atau swasta; kampus umum (profan atau kadang disebut sekuler), kampus agama (sacred atau sering disebut kampus agama/Islam). Bahkan tidak jarang, kekerasan mengalami reproduksi seperti seolah sengaja dipelihara. Oleh karena itu, dalam mencermati dan mengajukan solusi atas suatu praktik kekerasan, harus dilakukan secara komprehensif dari mulai perbaikan tata kelola atau manajemen kampus hingga organisasi kemahasiswaan. Termasuk pada aspek budaya dan prilaku organisasinya.
Akar Masalah
Banyak faktor penyebab mengapa masih sering terjadi kekerasan di internal organisasi kampus Islam. Pertama, secara intrinsik, seperti kelompok sosial lainnya, mahasiswa juga mempunyai motif, syahwat, ambisi politik atau berkuasa manakala sudah terproses menjadi aktivis kampus. Seperti di Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM), Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), Himpunan Mahasiswa Jurusan, dan sebagainya. Keterlibatan mahasiswa di organisasi tersebut, mungkin awalnya hanya ingin tahu, ikut-ikutan, menjadi anggota biasa dan akhirnya berkeinginan untuk memuncaki pucuk Pimpinan Organisasi. Masalahnya, tidak jarang syahwat politiknya tersebut terkendala atau kalah dalam perebutan pada pucuk Pimpinan Organisasi Kampus. Lalu melakukan langkah atau aksi negatif, diantaranya dengan melakukan kekerasan pisik maupun non pisik.
Kedua, warisan atau tradisi konflik dan kekerasan yang sudah berlangsung turun temurun dari para senioren sebelumnya. Konflik yang ditingkahi dengan kekerasan hampir selalu terjadi terutama saat digelar suksesi di pucuk pimpinan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) atau Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM). Dahulu Organisasi internal kampus bernama Dewan Mahasiswa (Dema) atau Badan Kordinasi Kemahasiswaan (BKK). Reproduksi kekerasan warisan senioren sebelumnya kemudian mengalami internalisasi, eksternalisasi dan objektivikasi. Tanpa ada satupun pihak yang mampu memotong dan mengakhirinya, termasuk dari pihak Rektorat atau Yayasan. Sehingga mengakibatkan kekerasan menjadi terinstitusionalisasi dan terkulturisasi. Jika hal ini terjadi, tentu sangat tidak mudah menghapus kekerasan dari akar-akarnya.
Ketiga, pengaruh organisasi ekstra kemahasiswaan yang banyak eksis di kampus. Selain berdampak positif karena menjadi wahana pelatihan dan pengkaderan kepemimpinan, kompetensi serta kepekaan dan crtitical thinking terhadap berbagai problem krusial yang terjadi pada masyarakat dan negara, organisasi ekstra kemahasiswaan acapkali mendorong rivalitas aktivisnya untuk bertarung memperebutkan kursi pucuk pimpinan BEM atau DPM. Terlebih manakala kontestannya tersebut nota bene berasal dari aktivis Organisasi Ekstra Kemahasiswaan. Rivalitas semacam ini mengakibatkan reproduksi kekerasan menjadi kian eksplosif dan massif.
Keempat, sebagai dampak dari terjadinya disrorientasi mahasiswa yang menimbulkan krisis jati diri. Wujudnya dengan melakukan kegiatan yang tidak jelas dan berhubungan langsung dengan kepentingan mahasiswa dari sisi input, proses, output dan outcamenya. Dari mulai malas membaca buku, kuliah, diskusi hingga melakukan persekusi, bullying atau kekerasan. Dengan demikian, terjadinya kekerasan wacana, narasi atau aksi di kalangan sejumlah aktivis organisasi internal kampus merupakan konsekwensi logis akibat mahasiswa mengalami disorientasi. Sebab, bagi mahasiswa yang memiliki orientasi studi dan masa depan jelas dan positif, tentu akan menjauhkan diri dari berbagai jenis tindakan kekerasan di dalam maupun di luar kampus.
Kelima, meminjam tesis Johan Galtung tentang kekerasan struktural dan kekerasan kultural, apa yang terjadi pada sejumlah organisasi internal kampus sebagai dampak dari implementasi manajemen, modal dan gaya kepemimpinan kampus. Meskipun masih harus dilakukan riset empirik, kepemimpinan kampus yang tidak dikelola secara profesional, transparan dan akuntabel, otoriter, despotik atau hanya beroprientasi kepada bisnis belaka, berkontribusi memicu beragam bentuk kekerasan. Dengan kata lain, terjadinya kekerasan di dalam organisasi mahasiswa kampus bisa jadi merupakan respon dan kritik terhadap model atau gaya kepemimpinan kampus yang dikelola secara tidak profesional, transparan dan akuntabel.
Keenam, dalam setiap konflik, terutama pada konflik politik tingkat tinggi, seringkali hadir penumpang gelap (dark number). Kelompok ini hadir bukan untuk menyelesaikan masalah, melainkan justeru membuat kompleks atau memperkeruh masalah. Dari sisi motiv, individu atau kelompok dark number, mungkin saja karena merasa sama-sama satu corp (sprit of the corp) atau satu aliran dengan pihak mahasiswa yang tengah bertikai di internal kampus. Tetapi tidak jarang pula dikontribusi karena adanya agenda kepentingan ekonomis dan bahkan politik.
Normatif dan Praksis
Para aktivis mahasiswa yang bergulat di organisasi internal kampus, masuk dalam kategori kaum milenial. Kalangan ini memiliki sifat dan perilaku tertentu, baik yang positif (seperti dinamis, progresif, militan, bawa perhatian (baper), radikal positif maupun negatif (pasif, apatis, skeptis, labil, radikal destruktif) dan sebagainya maupun percampuran antara sifat dan perilaku positif dan negatif yang dipengaruhi oleh faktor sistem sosial yang melingkarinya. Kombinasi dari berbagai aspek tersebut mempengaruhi perilaku dan orientasi mahasiswa saat berorganisasi, termasuk di organisasi internal kampus.
Tugas utama pimpinan kampus adalah melakukan pembinaan mahasiswa secara terencana dan intensif serta memfasilitasi berbagai kegiatan yang dibutuhkan agar aspek kognisi, efeksi dan prikomotorik mahasiswa dapat dimaksimalisasikan kepada hal-hal positif. Langkah ini sekaligus sebagai bentuk lain dari mengelola dan mengatur konflik secara berkualitas. Yakni: mentransformasi konflik dari negatif menjadi positif; dari statis menjadi dinamis, dan seterusnya.
Idealnya, pembinaan mahasiswa tidak hanya dilakukan saat terjadi konflik atau munculnya perilaku kekerasan yang melibatkan aktivis kampus, terutama dilakukan saat kondisi normal. Pimpinan kampus, minimal tiga bulan sekali melakukan dialog dengan BEM, DPM dan perwakilan mahasiswa lainnya untuk mendengarkan aspirasi mereka, serta mewujudkannya dengan mempertimbangkan daya dukung kampus yang pastinya berbeda-beda. Problemnya tidak jarang pembinaan organisasi kampus dilakukan saat kondisi mengalami abnormal, konflik dan perpecahan.
Sebaliknya, mahasiswa sebagai aktivis kampus harus menyadari bahwa organisasi adalah jembatan strategis untuk mencapai tujuan yang diidealisasikan. Sebagai suatu jembatan, jangan disamakan dengan tujuan sehingga untuk mencapainya menghalalkan segala cara yang sama sekali asimetris dengan visi perguruan tinggi, apalagi kampus Islam. Konstatasi semacam ini tentu mudah diucapkan atau dinarasikan namun tidak mudah dilaksanakan secara konkrit, konsisten dan berkelanjutan. Oleh karena itu, para aktivis mahasiswa harus secara terus menerus melakukan dialektika antara refleksi dengan aksi; atau antara aksi dengan refleksi sehingga dalam perilaku berorganisasinya tetap selalu di jalur yang benar (on the track).
Dengan mengasumsikan atau berandai-andai terjadi konflik dan apalagi yang sudah menjurus kepada kekerasan pada organisasi intermal pada sejumlah kampus Islam dengan berbagai latar belakang pemicunya, seruan kembali kepada Al-Qur’an dan Hadist Rasulullah SAW, tidak boleh kendur. Sebab Al-Qur’an secara normatif banyak menarasikan umatnya untuk berorganisasi dan sekaligus tidak boleh bercerai berai, dan apalagi melakukan perusakan di dalamnya. Antara lain dijelaskan dalam Al-Qur’an Surat As-Shof Ayat 4 dengan suatu matafora sebagai ‘bangunan yang tersusun kokoh’ (bunyanun marshus) dan saling saling tolong menolong dalam kebaikan dan ketakwaan serta menjauhkan diri permusuhan/pertikaian/perpecahan (Al-Maidah ayat 2). Sebab dengan organisasi yang solid, segala tujuan Organisasi dapat tercapai secara efektif dan maksimal. Sebaliknya sebagaimana dikatakan Ali bin Abi Tholib: “kebenaran tanpa diorganisir dengan baik akan dikalahkan oleh kebatilan yang diorganisir dengan baik”..
Al-Qur’an teramat banyak dan jelas mengajarkan prinsip-prinsip dalam pengelolaan maupun resolusi konflik dengan cara menunjuk pihak atau orang yang bertugas melakukan mediasi (tahkim) dengan mendatangkan mediator atau juru damai yang dapat dipercaya (trust) karena kredibilitas dan keadilannya (Surat Al-Maidah Ayat 8). Prinsip selanjutnya adalah melakukan manajemen dan resolusi konflik melalui asas musyawarah (syura) sebagaimana yang diperintah antara lain dalam Al-Qur’an Surat Ali Imran Ayat 159.
Musyawarah yang dipesankan Al-Qur’an adalah musyawarah yang bermuara kepada kesepakatan atau konsensus dari para pihak yang bertikai untuk kebaikan bersama (win-win solution). Manakala prasyarat aktor dan menajemen konflik seperti itu dilakukan, berujung kepada perdamaian (Islah) sejati (otentik) dengan wujud konkritnya saling saling memaafkan kesalahan tanpa mengabaikan proses penegakan hukum demi terwujudnya perdamaian yang langgeng. Yang menurut Muhammad Fuad ‘Abd Al-Baqi, dalam “Al-Mu‘Jam Al-Mufahras Li Alfazh Al-Qur’an” terdapat di 180 ayat yang berbicara tentang al-Ishlah dalam 55 surah.
Secara normatif prinsip dasar Al-Qur’an tersebut dibreakdown dengan berbagai langkah praksis yang dalam implementasinya mempertimbangkan kebutuhan, situasi dan kondisi yang dihadapi. Diantaranya: pertama, avoidance. Yakni: pihak-pihak yang berkonflik saling menghindari agar tidak terlibat konflik. Kedua, informal problem solving, yakni: menyelesaikan masalah secara kekeluargaan. Ketiga, negotiation, yakni: pemecahan masalah secara formal dengan prosedural yang mengikat semua pihak yang terlibat dalam negoisasi. Keempat, mediation, yakni: mendatangkan pihak ketiga yang diterima oleh kedua belah pihak berkonflik. Dalam kontek mengatasi konflik internal kampus, dapat saja melibatkan alumni atau senioren, termasuk para senior yang ketika aktif sebagai mahasiswa terlibat pada organisasi internal maupun eksternal kemahasiswaan.
Lalu kelima, executive dispute resolusion aprrouch yakni: kemunculan pihak lain yang memberi suatu bentuk penyelesaian konflik. Keenam, arbritation, yakni: penyerahan sukarela suatu sengketa kepada seorang yang berkualitas untuk menyelesaikannya dengan suatu perjanjian bahwa suatu keputusan arbiter akan final dan mengikat. Ketujuh, judicial approach, yakni: mengundang intervensi lembaga-lembaga berwenang dalam memberi kepastian hukum. Kedelapan, legislative approach, yakni: menyelesaikan konflik dengan pendekatan peraturan perundangan. Kesembilan, extra legal approach, yakni: penanganan yang dilakukan oleh pihak yang memiliki kekuatan legal dan munkin tidak dimiliki oleh pihak lawan.
Agar beroleh hasil yang diinginkan, secara sistematis, diperlukan langkah-langkah sebagai berikut: pertama, pihak mediator, negoisator atau aktor yang ditugaskan untuk menyelesaikan dan mencari solusi terhadap suatu konflik atau kekerasan harus mampu mengidentifikasi masalah dan akar masalahnya. Kedua, memiliki kemampuan diagnosis. Ketiga, para pihak yang terlibat konflik menyepakati suatu solusi yang diharapkan dapat tuntas dan menyeluruh. Keempat, melaksanakan berbagai langkah tersebut secara konsisten oleh para pihak yang terlibat dalam konflik. Kelima melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan paska penyelesaian konflik.
Last but not least, memangkas atau memotong akar kekerasan dan terlebih yang sudah mengalami reproduksi, beranak pinak sehingga mengalami institusionalisasi dan kulturisasi harus dilakukan dari akarnya, atau dari mulai tingkat hulu lalu kemudian berujung di tingkat hilir. Kelemahan atau bahkan kesalahan yang acapkali terjadi pada sejumlah kampus Islam, dalam memotong reproduksi kekerasan, dilakukan hanya di tingkat hilir. Akibatnya adalah kekerasan demi kekerasan terus mengalami reproduksi. Dan jika itu terjadi sangat mencedrai dan berpotensi melahirkan citra atau opini yang buruk, apalagi pada kampus yang menggunakan lebel Islam atau Al-Qur’an. [rif]