Istilah-istilah militer sering dipakai demi menghindari bahasa bersayap yang biasanya mengandung makna berlapis.
BARISAN.CO – Sejak reformasi bergulir, aparat militer baik polisi dan TNI menjadi makin tak berjarak dengan masyarakat. Secara sadar, dua institusi inipun memiliki upaya mendekatkan diri kepada sipil.
Misalnya ada slogan “TNI sahabat rakyat”, atau “Polisi bagian dari masyarakat”. Walaupun tidak selalu berjalan semulus slogannya, upaya mendekatkan diri terus dilakukan.
Di sisi lain, ada pula semacam gejala bahasa di mana masyarakat gemar memakai istilah-istilah militer. “Siap!” barangkali adalah ungkapan paling lazim ditemui, saat seseorang mengonfirmasi suatu perintah atau menegaskan kesanggupan.
Serupa dengan siap antara lain adalah apa perintah, lapor, mohon izin, laksanakan. Terhadap pihak yang lebih dihormati, seseorang biasanya juga menggunakan istilah militer dan memanggilnya dengan sebutan “Ndan”, bentuk aferesis (penanggalan satu atau lebih fonem pada awal kata) dari komandan.
“Besok pagi kita kerja bakti bersih lingkungan, siapa tahu setelahnya datang tamu dari planet Mars,” kata Pak RT.
“Siap, ndan!” Sahut satpam kompleks.
Kata ndan yang dipakai kalangan sipil biasanya dibalut pemahaman senioritas, kewenangan, maupun rasa hormat. Namun, karena sipil yang mengucapkannya, kata ini bisa tetap berada dalam nuansa yang santai dan ringan.
Tentu lain ceritanya jika ndan digunakan oleh kalangan militer. Kata sapaan itu pasti tetap mempertahankan unsur hierarki di dalamnya. Artinya, sapaan ndan haruslah digunakan seorang berpangkat rendah terhadap yang berpangkat lebih tinggi. Artinya lagi, sapaan ndan tidak boleh dipakai sembarangan. Ia harus tetap hierarkis agar tidak terjadi kekacauan rantai komando.
Disebarkan Budaya Pop
Ada banyak bahasa militer lain yang digandrungi sipil. Bukan hanya di Indonesia, di luar negeri, istilah patah-patah seperti roger, copy, affirmative, pun sering digunakan dalam komunikasi sehari-hari.
Kata-kata ini dengan mudah menyebar terutama lewat budaya pop seperti film, musik, dan acara-acara televisi.
Anda tahu lagu berjudul Mirasantika ciptaan Rhoma Irama? Lagu ini dirilis tahun 1997. Mirasantika adalah gabungan dari akronim miras (minuman keras) dan narkotika.
Miras sendiri merupakan salah satu contoh kegandrungan polisi akan akronim. Dari sekian akronim yang pernah dibuat polisi, miras mungkin adalah istilah yang paling mudah dipahami oleh sipil—polisi agaknya perlu berterima kasih kepada Rhoma Irama soal ini.
Beberapa akronim lain bikinan polisi Indonesia adalah curanmor (pencurian kendaraan bermotor), curas (pencurian dengan kekerasan), curat (pencurian dengan pemberatan), pekat (penyakit masyarakat), lidik (penyelidikan), sidik (penyidikan), dan tipikor (tindak pidana korupsi).
Meskipun agak alot, istilah-istilah di atas pun mulai banyak dipakai sipil, terutama karena peran media yang ikut membuatnya meletik lewat judul maupun isi berita. Akronim di atas sering dipakai mungkin karena media seperti koran melihatnya lebih efektif sekaligus hemat kolom.
Ada istilah militer yang tersebar ke ruang publik dan tetap kaku saat digunakan seperti miras. Ada yang mengalami demokratisasi sebagaimana sapaan ndan. Ada pula yang mengalami perluasan makna, misalnya TKP.
TKP adalah kependekan dari tempat kejadian perkara. Oleh polisi, TKP digunakan untuk merujuk lokasi peristiwa kecelakaan atau kejahatan.
Di tangan masyarakat, istilah ini mengalami perluasan makna secara kreatif. Ia bisa merujuk tempat kencan atau lokasi pertemuan. Di jagat internet, TKP bisa juga merujuk sebuah tautan (link), akun media sosial seseorang, status seseorang, atau website sebuah lembaga.
Istilah lain yang mengalami perluasan makna adalah 86 (delapan enam, atau lapan enam). Mula-mula, kode 86 berarti “dimengerti untuk dilaksanakan.” Polisi biasa memakainya saat sedang bertugas atau sedang patroli.
Akan tetapi, terdapat perluasan makna berkonotasi negatif dari kode 86 di masyarakat. Kode ini sering disebut saat sebuah kasus tidak dilanjutkan ke proses hukum: damai dengan memberi uang. Sehingga, kode yang awalnya berarti “dimengerti untuk dilaksanakan” diplesetkan menjadi “saling mengerti dan saling membantu.”
Penggunaan istilah militer kemungkinan besar akan tetap langgeng di kalangan sipil di masa-masa mendatang. Sering kali, demi menghindari bahasa bersayap yang mengandung makna berlapis, publik memang butuh istilah yang singkat, jelas, lugas, dan mudah dipahami. [dmr]