BARISAN.CO – Tidak ada istilah gagah yang lolos dari kesalahpahaman, lebih-lebih jika itu berbahasa asing. Test Polymerase Chain Reaction, kawan-kawan, pernahkah Anda melakukannya? Atau memahaminya, atau minimal mengerti tujuannya?
Banyak istilah asing yang perlu kita pelajari dengan seksama. Dalam konteks Covid-19, sebutlah droplet, airborne, positivity rate, dan testing and tracing, bahkan hingga sekarang masih menjadi istilah yang sukar. Tapi, institusi publik kita tetap menggunakannya tanpa pernah memeriksa apakah itu sudah benar-benar dimengerti.
Saya kira, institusi publik kita sudah menimbang bahwa Covid-19 hanya bisa diperangi lewat kesadaran yang satu padu. Dan beruntungnya, kita punya alat pemersatu yang sangat efektif: Bahasa Indonesia.
Mari kita periksa. Di antara belantara istilah yang ada—yang kebanyakan justru menyesatkan—hanya istilah ‘protokol kesehatan’ yang mendapat tempat di kepala masyarakat. Kita sadar memakai masker, cuci tangan, dan jaga jarak merupakan hal esensial pencegah virus. Bahwa masih banyak orang belum mewujudkan anjuran itu ke dalam praksis kehidupan sehari-hari, itu soal kemudian.
Tapi coba kita bandingkan saja. ‘Covid-19’ sendiri adalah istilah asing, demikian juga lockdown. Pada awal persebaran virus ini, banyak masyarakat melakukan isolasi mandiri dengan menutup gapura menuju kampung dengan pal. Di gapura itu terpasang spanduk yang, pada banyak kasus, salah pengejaan. Ada yang menuliskan: hati-hati ada Kofid-19, Cofid, Virus Kopet, Laukdaun, Lokdon, dll.
Dapat dipahami bahwa aksi masyarakat tersebut ialah penggerak massa, namun bukan merupakan suatu kejelasan. Masyarakat ingin terlibat, tapi kurang memahami kebenaran suatu peristiwa. Sederhananya, jika masyarakat paham, tentu saja kesalahan ejaan itu tidak terjadi.
Di sisi lain, ada semacam kegemaran institusi publik kita menyampaikan informasi dalam berbahasa asing. Seolah tidak peduli informasi itu ditujukan kepada masyarakat Indonesia, yang mayoritas berbahasa Indonesia. Padahal kita punya segudang istilah mudah, yang dapat dijadikan obat penawar dari tiap istilah asing yang masuk.
Kenapa gemar keminggris? Apakah kita terbenam visi global, sehingga kurang percaya diri menggunakan bahasa kita sendiri? Banyak kalangan menduga demikian. Dalam peribahasa melayu misalnya, ada tertangguk pada ikan sama menguntungkan, di Jawa ada menang tanpa ngasorake. Keduanya falsafah lama, nyaris tidak terpakai, dan kita baru mau menelannya setelah masuk istilah win-win solution.
Ada lagi ngluruk tanpa bala (menyerang sendirian), kecil-kecil lada api, di mana keduanya tampak tidak mungkin dilakukkan. Baru dianggap mungkin, saat Glenn Davis dan John Roberts menulis buku An Occupation Without Troops pada tahun 1996.
Pandemi kali ini benar-benar ujian berbahasa. Tampak jelas bahwa masyarakat sebenarnya salah memahami informasi dari sumber-sumber resmi atau malah tidak mengerti sama sekali. Dan tantangan bagi pemerintah, tentu saja, menyederhanakan istilah asing yang rumit menjadi sederhana dan dapat dimengerti.
Kesederhanaan dalam penyampaian adalah kunci. Memang, jarang orang mau mengakui, kata Pram, bahwa kesederhanaan adalah kekayaan yang terbesar di dunia ini. []
Diskusi tentang post ini