Oleh: Khairul Fahmi (Penggiat Literasi)
SEJAK Indonesia merdeka DKI Jakarta sudah dipimpin oleh 17 orang gubernur (tiga yang pertama secara beruratan disebut Wali Kota Jakarta, baru yang keempat disebut Gubernur). Tercatat Ali Sadikin adalah yang paling kontroversial. Karena dalam rangka membangun Jakarta, jangankan uang yang halal, yang harampun dihatamnya juga. Karena itu banyak ulama Jakarta yang menentangnya. Yang paling vokal adalah KH. Abdullah Syafi’i. Tapi belakangan Ali Sadikin berdamai dengan KH. Abdullah Syafi’i.
Menurut saya, yang paling visioner adalah Sutiyoso. Letak visionernya itu pada ide besar menjadikan kawasan Jabodetabek sebagai megapolitan.
Orang Betawi juga sempat berbangga saat Fauzi Bowo menjadi gubernur. Letak kebanggaannya karena, Fauzi Bowo adalah orang Betawi asli. Oleh sebagian orang Fauzi Bowo dipandang tidak mewakili orang Betawi asli, karena hanya ibunya saja yang asli Betawi. Ayahnya orang Jawa Timur.
Walaupun asli Betawi, Fauzi Bowo tidak begitu dicintai, atau bahkan tidak dicintai oleh masyarakat Betawi, seperti kecintaannya kepada Anies Baswedan, Gubernur DKI Jakarta periode 2017 – 2022.
Anies Badwedan terpilih melalui pemilihan kepala daerah (pilkada) yang sangat melelahkan, dan menguras energi, bukan hanya energi penduduk Jakarta, yang berkepentingan dengan kontestasi di wilayahnya, tapi menguras seluruh energi anak bangsa. Tidak hanya saat pilkada, tapi buntutnya masih terus dirasakan sampai saat ini.
Pilkada DKI Jakarta tahun 2017, telah menghadirkan solidaritas agama dan etnis pada masyarakat Betawi. Saat pemilihan gubernur keluarga Betawi layaknya hari raya. Sanak saudara yang tempat tinggalnya terpencar, tapi tercatat sebagai pemilih di TPS rumah orang tuanya, dihubungi untuk mencoblos.
Bahkan yang tinggal di luar kota pun dihubungi. Suasana saat itu mirip hari raya idul fitri : berkumpul, saling sapa, makan siang, baru kembali ke rumah masing-masing. Hasilnya : pasangan Anies Baswedan – Sandiaga Uno berhasil mengungguli pasangan Ahok – Djarot.
Bisa dikatakan satu di antara faktor kemengan Anies-Sandiaga ada pada tingkat partisipasi masyarakat Betawi yang kebetulan memilihnya (tentu banyak faktor lainnya).
Saat mencoblos, orang Betawi rasanya tidak terlalu menghiraukan visi dan misi Anies Baswedan. Yang terfikir saat itu asal bukan yang dianggap penista agama. Program-program, visi dan misinya saat kampanye memang bagus, dan terbukti bagus tidak hanya di atas kertas, tapi direalisasikan atau ditepati selama menjabat gubernur.
Program Anies diperuntukkan bagi semua kalangan, semua agama, dan suku yang ada di Jakarta. Tidak ada yang secara spesifik untuk orang Betawi. Tapi dalam prakteknya gaya kepemimpinan Anies sangat disukai masyarakat Betawi. Anies banyak mengunjungi tokoh-tokoh Betawi, tokoh agama Betawi, ormas-ormas Betawi, memperbolehkan takbir keliling, mengadakan perayaan Tahun Baru Hijriyyah secara kolosal, menggelar festival budaya Betawi di berbagai tempat, dan terakhir mengganti nama jalan-jalan di beberapa tempat dengan nama tokoh Betawi.
Pola pendekatan budaya di atas menimbulkan rasa simpati pada sebagian besar masyarakat Betawi. Masyarakat Betawi merasa di-“orangkan”. Rasanya baru Anies Baswedan Gubernur yang memposisikan masyarakat Betawi pada posisi yang sepantasnya sebagai penduduk asli Jakarta. Fauzi Bowo yang asli Betawipun perhatiannya tidak sebesar Anies Baswedan.
Satu hal yang penting adalah cara Anies Baswedan berkomunikasi. Cara berkomunikasinya santun. Sekalipun Pak Gubernur telah banyak memberi kepada rakyatnya, bahasanya tetap seperti yang tidak memberi. Dan tidak pernah Pak Anies membentak-bentak aparat di bawahnya di muka umum, apalagi untuk maksud pencitraan sebagai orang yang tegas.
Gaya kepemimpinan, gaya komunikasi seperti ini yang sedang ditunggu rakyat Indonesia. Apalagi dibarengi visi dan misi yang besar.
Wallahu a’lam bishowab. [rif]