BARISAN.CO – Sarung sudah lekat dengan ciri khas masyarakat muslim di Indonesia. Walau sesungguhnya pemakain sarung tak menunjuk pada identitas agama tertentu.
Selain sebagai pelengkap untuk beribadah, sarung atau kain sarung bagi masyarakat Indonesia juga dipakai untuk pelengkap berbusana, selimut ketika tidur, bahkan untuk bermain dan masih banyak lagi.
Sarung adalah kain yang berbentuk kotak dengan selongsong yang umumnya dilengkapi dengan motif.
Cara penggunaan sarung hanya dengan melilitkan di bagian bawah tubuh sebagai pengganti celana. Agar tidak kepanjangan, sarung yang digunakan dilipat hingga pinggang dan dikencangkan, sehingga nyaman dipakai.
Asal Usul Sarung
Melansir dari laman Kemendikbud, sarung muncul di Indonesia sejak abad 14 yang dibawa oleh pedagang Arab dan India. Berdasarkan catatan sejarah, sarung berasal dari Yaman yang terkenal dengan sebutan futah.
Dari sejarah memoar yang ditulis Pangeran Djajadiningrat dari Kesultanan Banten, disebutkan masyarakat Jawa masih menggunakan sarung, jas model Jawa, dan kain tutup kepala yang disebut destar hingga sekitar 1902.
Awalnya sarung diterima dan dipakai umat muslim yang berada di pesisir pantai. Dalam perkembangan berikutnya sarung di Indonesia identik dengan kebudayaan Islam.
Walaupun sarung tidak asli dari Indonesia, akan tetapi sarung sangat identik dengan muslim yang ada di Indonesia. Hampir di setiap daerah di Indonesia memiliki sarung dengan corak, ragam, dan bahan yang berbeda-beda.
Sarung sebagai Identitas bangsa di Masa Perjuangan
Pada zaman penjajahan Belanda, sarung identik dengan perjuangan melawan budaya barat yang dibawa para penjajah.
Para santri di zaman kolonial Belanda menggunakan sarung sebagai simbol perlawanan terhadap budaya Barat yang dibawa kaum penjajah.
Kaum santri merupakan masyarakat yang paling konsisten menggunakan sarung di mana kaum nasionalis abangan telah hampir meninggalkan sarung.
Sikap konsisten penggunaan sarung juga dijalankan oleh salah seorang pejuang Muslim Nusantara yakni KH Abdul Wahab Chasbullah, seorang tokoh sentral di Nahdhatul Ulama (NU).
Suatu kali, ia diundang Presiden Soekarno ke Istana. Protokol istana menuntut berpakaian formal lengkap dengan jas dan dasi. Saat itu, Abdul Wahab menggunakan jas tetap bawahnya menggunakan sarung untuk menghadiri upacara kenegaraan.
Sebagai seorang pejuang yang berkali-kali bertempur melawan Belanda dan Jepang, Abdul Wahab tetap konsisten menggunakan sarung sebagai simbol perlawanan terhadap penjajah barat.
Ia ingin menunjukkan harkat dan martabat bangsanya yang tinggi di hadapan budaya barat.
Sarung kini menjadi ciri khas bangsa Indonesia, sangat familiar dan akrab dengan suasana keseharian. Sarung juga menjadi hadiah atau bingkisan yang diberikan kepada saudara, keluarga, maupun sahabat.
Bahkan pemerintah sudah menetapkan Hari Sarung Nasional sejak 3 Maret 2019 lalu. [rif]