Kebijakan mengontrol masjid hanya bisa dilakukan bila negara tersebut berfaham komunis, dipimpin seorang otoriter atau monarki.
MENGONTROL tempat ibadah. Sudah pasti yang dimaksud adalah masjid. Lagi-lagi terkait radikalisme. Duit negara sudah banyak digelontorkan demi lembaga dan juga menggaji personel atasnama nomenklatur pemberantasan radikalisme dan terorisme. Kenapa sampai sekarang tidak berhasil? Masih berproses atau justru gagal?
Selalu saja yang dipersoalkan kalau tidak pesantren adalah masjid sebagai sumber atau tempat ajaran radikalisme tumbuh. Padahal makalah dari berbagai pakar dan ahli justru mengatakan sumber masalah radikalisme sejatinya adalah soal kemiskinan, ketidakadilan dan rendahnya pendidikan.
Kenapa seperti Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) tidak fokus pada ketiga masalah tersebut sambil terus berkolaborasi dengan pemangku kepentingan lain. Janganlah malah memunculkan wacana lama mengontrol tempat ibadah. Wacana itu sangat menyakitkan karena sekaligus sebagai tuduhan yang sangat menyinggung perasaan umat Islam.
Mereka yang sebelumnya tidak berpikir radikal pun jadi antipati kepada Pemerintah. “Kenapa gue ini selalu disalahkan?”
Indonesia Negara Demokratis
Kebijakan mengontrol masjid hanya bisa dilakukan bila negara tersebut berfaham komunis, dipimpin seorang otoriter atau monarki. Lah, Indonesia sudah memilih menjadi negara demokrasi. Mengontrol rumah ibadah selain absurd juga bertentangan dengan konstitusi Pasal 29 ayat 2, “Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu’.
Ketua Dewan Masjid Indonesia Jusuf Kalla pernah mengatakan jumlah masjid di Indonesia lebih dari 800 ribu termasuk musala. Lalu dari jumlah sebenarnya yang mungkin lebih dari satu juta tersebut paling hanya beberapa yang dianggap radikal. Sangat mudah dengan anggaran besar untuk melokalisir dan mereduksinya.
Kecuali memang tujuannya sedari awal ingin mengontrol dengan bermodalkan studi banding atau meniru cara Malaysia, Arab Saudi atau negara-negara Timur Tengah lainnya.
Rumah ibadah di Indonesia juga tidak dibangun oleh negara. Rakyat atau umat susah payah membangun masjid dengan cara menebar kotak amal sampai ke tengah jalan. Imam masjid dan juga marebot tidak diupah negara. Listrik dan santunan untuk petugas masjid dihasilkan dari ‘koropak’ amal jemaah salat Jumat atau donatur. Lalu tiba-tiba mau mengontrol masjid.
Ketika negara abai kepada masjid dan jemaahnya, justru Pemerintah cawe-cawe dan bernafsu untuk mengaturnya. Tak masuk akal. Jadi hentikan wacana seperti itu.
Pemerintah jangan sekali-kali mencurigai masjid. Justru masjid harus dirangkul dan didorong agar masjid dan jemaahnya mandiri dan makmur.
Lebih bagus lagi, kucurkan atau anggarkan sebagian dari dana BNPT atau lembaga lainnya untuk memakmurkan masjid atau tempat ibadah sehingga umat tidak harus mencari dana sampai ke jalanan. Atau kalau tak mau membagi anggarannya untuk umat ya sering-seringlah berjamaah dan salat Subuh bersama warga masjid di pelosok Indonesia. Kemudian berdialog. Dengarkan mereka bukan dicurigai atau hindari menceramahi mereka seolah Jakarta itu paling benar. Sekali-kali beri kesempatan mereka untuk mengkritisi kebijakan pusat.
Mungkin yang Radikal di Luar Masjid
Ada riset menarik di The Atlantic yang ditulis profesor sejarah dari University of West Georgia, Daniel K. Williams. Disebutkan, seseorang yang sering ke gereja justru tidak fanatik lantaran banyak bergaul dengan beragam orang termasuk etnis dan juga dari kelompok pandangan politik yang beragam.
Justru orang yang tidak ke gereja atau menarik dari ibadah rutin, kehidupannya menjadi eksklusif dan bisa menjadi radikal kanan di Amerika Selatan dan perdesaan di wilayah Midwest.
Dalam banyak kasus, ketika seseorang berhenti menghadiri kebaktian keagamaan secara rutin, sistem politik suatu negara menjadi gerejanya—dan akibatnya menimbulkan polarisasi.
Menjadi bagian dari komunitas keagamaan sering kali memaksa orang untuk bergaul dengan orang lain—termasuk orang lain yang memiliki pandangan politik berbeda—dan hal ini mungkin menyalurkan upaya orang-orang ke dalam kegiatan amal atau bentuk kegiatan komunitas yang tidak ada hubungannya dengan politik.
Meninggalkan komunitas berarti menghilangkan kekuatan-kekuatan moderat tersebut.
Jadi, janganlah sedikit-sedikit pesantren dicurigai, masjid dicurigai, kotak amal pun dicurigai. “Ampun, Gusti nu Agung!”