Ustaz Sukriyanto AR, salah satu putra pak AR, menceritakan kepada kami, orangtua pak AR mengawali pendidikan anaknya, dengan mengajari ilmu agama. Lalu dia menitipkan kepada kiai-kiai yang lain. Dalam pendidikan kepada kiai, selain ilmu agama, penekanan melayani orang lain sangat dipentingkan di dalam metode pengajaran yang bersifat personal.
Pendidikan seperti dijelaskan di atas, waktu itu merupakan cara mendidik yang sifatnya umum. Buya Syafii Ma’arif, mantan Ketua PP Muhammadiyah yang juga kami wawancarai, menjelaskan bahwa masyarakat waktu mendukung situasi pendidikan yang seperti itu. Orang-orang di zaman itu tidak hanya memikirkan diri sendiri, tetapi memikirkan sesama.
Produk masyarakat, di mana masyarakat bersedia mendidik anak-anak orang lain, dititipkan kepada mereka untuk dididik seperti mendidik anak sendiri, adalah sebuah kesadaran bersama.
Selain mendapat fasilitas pendidikan dari keluarga-keluarga organisasi juga menfasilitasi dengan tugas yang memungkinkan orang berkembang. Dalam hal ini organisasi Muhammadiyah waktu itu mengembangkan kapasitas kader, dengan menempatkan orang-orang mudanya ke bebagai daerah.
AR Fachrudin muda ditempatkan di Sumatra sebagai bagian dari pertumbuhan kader. Berpindah dari satut tempat ke tempat lain. Selain itu metode berguru pada ulama-ulama sepuh dan kerajinan membaca kitab, menjadi kebiasaan yang dilakukan kader.
Sesudah dirasa cukup, lalu ditarik lagi ke pusat organisasi, untuk mulai membantu para senior. Prof Abdul Mulkhan, guru besar UIN juga narasumber lain menjelaskan soal ini. Sementara almarhum Said Tuhulele, salah satu penghader Muhammdiyah, yang juga merupakan salah satu murid pak AR yang intens kami wawancarai waktu itu, menjelaskan metode perkaderan dilakukan juga oleh Pak AR meneruskan perkaderan yang dilakukan oleh guru-gurunya. Hasilnya, terbentuk generasi ulama pemimpin yang ditempatkan di berbagai daerah.
Dan tentu saja, di luar rekayasa yang dilakukan lingkungan sosial serta organisasi di mana dia berlindung, seorang pemimpin tumbuh karena jati dirinya sendiri. Keberanian, kejujuran, kebijakan dalam melibat masalah dan bersikap sebagaimana seorang pemimpin, sering adalah karena sikap personalnya sendiri.
Saya tidak selalu sepakat dengan pendapat bahwa suara rakyat selalu merupakan suara Tuhan sebagaimana kampanye sebagian aktivis demokrasi. Cukup banyak kasus, saya temui di mana suara mayoritas rakyat, sering tidak memilih pilihan yang lebih baik dalam pilihan publik.
Dalam hal kebijakan personal juga demikian. Seorang pemimpin, tidak selalu berani memutuskan pilihan yang lebih baik. Dan bahkan memilih pilihan yang kalah baik. Pada posisi ini, pilihan kebijakan seorang pemimpin yang dilakukan secara personal menjadi penting.
Ada lagi hal penting yang mesti diperhatikan. Bagaimana lahirnya pemimpin yang berasal dari satu kelompok itu, dan diterima oleh kelompok yang lain itu, terjadi tidak otomatis. Melalui pendidikan juga. Calon pemimpin itu harus berani masuk ke kelompok lain. Memperkaya ilmu dan wawasan yang berasal dari kelompok lain, juga membangun kesediaan menerima kritik, tanpa harus kehilangan jati diri.
Istilah yang dipakai oleh pendeta Th. Sumartana untuk jenis orang yang bersedia masuk ke satu komunitas ke komunitas lain untuk memperkaya pikiran dan wawasan serta lalu kembali ke komunitasnya sendiri dengan tidak kehilangan jati diri itu, ibarat melakukan passing through. Langkah yang seharusnya dilakukan semua kader pemimpin, meminjam istilah yang dipakai ekonom-ekonom Universitas Muhammadiyah Surakarta, Yuni Prihadi Utomo: melintas batas.